Jakarta, Gatra.com – Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Farouk Abdullah Alwyni, menilai penggunaan anggaran negara atau APBN dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menguatkan anggapan bahwa pemerintah selalu inkonsisten dalam menyusun perencanaan.
Menurutnya, ini adalah sekian kalinya pemerintah mengingkari ucapannya sendiri. Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui Perpres No. 107 Tahun 2015 mengatur tidak akan ada pembiayaan langsung dari APBN dalam mega-proyek kereta cepat ini. Hanya saja Presiden mengoreksi aturan tersebut dengan mengeluarkan Perpres No. 93 Tahun 2021 yang mengatur bahwa proyek akan didukung oleh APBN. Akan ada Penyertaan Modal Negara (PMN) ditambah penjaminan utang kepada BUMN yang memimpin konsorsium.
“Padahal proyek ini bukanlah proyek infrastruktur dasar. Di luar sana masih banyak sebenarnya proyek infrastruktur dasar yang perlu dibiayai melalui APBN,” ujar Farouk dalam keterangannya, Selasa (23/11).
Mulai dipakainya APBN sebagai instrumen penambal modal proyek kereta cepat ini, jelas Farouk, tak bisa dilepaskan dari adanya cost overrun (pembengkakan biaya) dari semula US$ 6,07 miliar menjadi US$ 8 miliar. Awalnya, proyek Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) ini dirancang dengan nilai investasi US$ 6,07 miliar. Dana ini diperoleh dari patungan antara konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (terdiri dari PT KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan Jasa Marga) dan konsorsium Cina Beijing Yawan HSR Co.Ltd.
Pemerintah berdalih bahwa pembengkakan terjadi sebab faktor seperti pengadaan lahan serta perubahan kondisi geografis dari yang awalnya diperkirakan. Ada dalih lain yakni pandemi Covid-19 yang menyebabkan anggota konsorsium BUMN Indonesia mengalami kesulitan cashflow.
“Sekilas alasan pemerintah terdengar masuk akal dan bisa dimaklumi. Pendapatan KAI turun drastis sehingga rugi Rp1,7 triliun di tahun 2020. Penggunaan jalan tol milik Jasa Marga tidak optimal. Begitupun kesulitan juga dialami PTPN VIII dan Wijaya Karya,” ucap Farouk.
“Yang belum sempat dijelaskan kepada publik adalah apakah cost overrun ini sudah final atau masih akan membengkak lagi. Jika masih bertambah, maka ruang fiskal kita akan menyempit, sementara masih banyak alokasi belanja yang perlu lebih mendapat perhatian,” lanjut Farouk.
Di tengah kondisi keuangan negara yang sedang tidak baik, kata Farouk, semestinya pemerintah lebih fokus pada rencana pemulihan pasca-pandemi.
“Persoalan pandemi adalah absolute present. Ia tampak di depan mata dan perlu segera diselesaikan, seperti dukungan terhadap UMKM, penyelenggaraan pendidikan, perlindungan sosial, dan tak lupa kesehatan. Inilah soal-soal yang semestinya jadi prioritas,” ujar Farouk.
Sementara itu, selain belum jelasnya pembengkakan biaya kereta cepat, belum jelas pula soal kesepakatan utang kepada PT KCIC dalam proyek kereta cepat dari China Development Bank (CDB).
“Kesepakatannya CDB akan memberi utang sebesar US$3,97 miliar. Seiring membengkaknya biaya proyek seperti sekarang, belum cukup jelas apakah jumlah tersebut akan bertambah atau tidak. Yang jelas, ada bunga tinggi yang perlu dibayar,” katanya.
Farouk mengatakan, membengkaknya biaya investasi kereta cepat Indonesia-China ini bahkan sudah jauh melampaui dana pembangunan proyek yang sama yang ditawarkan Jepang dahulu.
“Sebelum Indonesia resmi bekerja sama dengan China, sempat ada negosiasi dengan Jepang pada proyek ini. Waktu itu Jepang siap mendanai 75% dari biaya senilai US$ 6,2 miliar dengan bunga 0,1% per tahun. Bunga ini jauh lebih kecil dibandingkan pihak China yang sebesar 2% untuk US$ dan 3,46% untuk renminbi,” kata Farouk.
Presiden Jokowi memilih China karena menjanjikan skema business to business. Kemudian, biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman, tanpa melibatkan duit APBN sepeser pun.
“Sayangnya skema ini sudah kacau sekarang. Terpaksa APBN kita harus dipakai membiayai proyek-proyek yang semestinya tidak diuntukkan,” pungkas Farouk Alwyni.