Solo, Gatra.com – Sengketa perebutan tanah Sriwedari antara Pemerintah Kota Solo dan ahli waris masih berlangsung hingga kini. Berbagai pihak mendesak lahan tersebut dibuka kembali dan dijadikan sebagai ruang publik.
Sengketa Sriwedari antara Pemkot Solo dan Wiryodiningrat bergulir sejak 1970-an. Sengketa ini memperebutkan lahan di pusat Kota Solo yang dulu disebut sebagai Kebon Rojo.
Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) M. Jamin mengatakan, kendati telah dimenangi pihak ahli waris di tingkat Mahkamah Agung (MA), tanah tersebut tidak dapat dieksekusi karena berbagai faktor. Salah satunya terkait adanya ultra petita dalam keputusan hakim.
”Gugatan yang diminta oleh para ahli waris ini sebesar 60 ribu meter persegi. Namun pada keputusan hakim dimenangkan 90 ribu meter persegi. Ini melebihi dari yang digugatkan. Jadi ada kekhilafan hakim di sini sebab melebihi apa yang diminta,” katanya dalam forum group discussion (FGD) Pengelolaan Lahan Sriwedari yang diadakan oleh Pemkot Solo, Senin (22/11).
Menurutnya, ultra petita tersebut membuat keputusan hakim tidak bisa dilaksanakan. Untuk itu, Jamin menganjurkan pada Pemkot Solo untuk meminta fatwa pada MA tentang penghentian eksekusi lahan Sriwedari.
Ia menjelaskan, ada alasan empiris dan yuridis untuk menghentikan eksekusi itu. Pertama, lahan ini sudah lama digunakan warga umum. ”Memori kolektif orang Solo bahkan orang di sekitar Solo tidak bisa terbantahkan. Kalau lahan ini menjadi milik pribadi, tentu semua akan hilang begitu saja,” katanya.
Kedua, secara historis, sengketa ini seharusnya sudah selesai. Sebab jika gugat-menggugat diteruskan, termasuk oleh Pemkot Solo, perkara ini akan terus bergulir dan ruwet.
”Ini akan jadi keruwetan bagi Pemkot Solo. Padahal mereka (Pemkot Solo) harus melakukan pembangunan dan revitalisasi, termasuk mengembalikan fungsi pendidikan, fungsi publik, fungsi budaya, fungsi hiburan, dan agama,” katanya.
Di sisi lain, saat ini lahan Sriwedari berada dalam status quo yang akhirnya mangkrak selama beberapa tahun. Alhasil, sedikit demi sedikit fungsi Sriwedari menghilang.
”Jadi kalau (saran) saya mending dibuka dulu. Sebab ini milik publik. Artinya ketika pulik punya akeses masuk, maka keputusan publik akan menguat,” katanya.
Dalam diskusi ini, dua cara diusulkan untuk menganulir eksekusi penyitaan lahan. Selain jalur hukum melalui pengajuan fatwa ke MA seperti yang dianjurkan Jamin, usulan lain yakni melalui jalur politik. Usulan ini disampaikan oleh mantan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo.
Menurutnya, jalur politik ditempuh dengan meminta Presiden Joko Widodo turut turun tangan menangani persoalan ini.
”Saran saya hanya satu, kepala negara (Presiden Jokowi) harus ikut campur dalam urusan Sriwedari. Bahwa kepala negara memutuskan tanah ini milik negara, bukan siapa-siapa,” katanya.
Menurutnya, keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengeluarkan HP 40 dan HP 41 merupakan bukti bahwa tanah Sriwedari milik negara.
”Keputusan itu juga menyatakan bahwa kawasan ini merupakan kawasan cagar budaya yang tidak bisa dimiliki oleh siapa-siapa. Sudah selesai dengan HP (sertifikat hak pakai nomor) 40 dan HP 41,” katanya.
Dirinya juga meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk menyelamatkan tanah ini. ”Yang penting menyelamatkan aset ini jangan sampai hilang,” katanya.
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka enggan dimintai keterangan soal perkara ini. Dia langsung keluar dari lokasi FGD dan pergi meninggalkan lokasi.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Solo Ahyani mengatakan secara de facto dan de jure, Pemkot Solo sudah memiliki empat bukti hak pakai, yakni nomor 40, 41, 42, dan 46 sebagai dasar dan landasan bagi Pemkot Solo.
”Kedua, kami akan mengelola Sriwedari sesuai dengan anggaran APBD maupun dengan CSR (corporate social responsibility). Pedoman kami itu saja, daripada Sriwedari itu mangkrak. Sebab lahan ini merupakan situs budaya,” katanya.
Dalam sengketa lahan Sriwedari, pengadilan telah menerbitkan surat penyitaan lahan nomor 10/PEN.PDT/EKS/2015/PN.Skt. Melalui surat ini, perkara itu telah dinyatakan inkrah pada 2015. Namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan penyitaan tidak dapat dilaksanakan melalui surat nomor 3919/33.72-600/XI/2018 pada 21 November 2018.