Home Lingkungan METI: Jangan Campur Aturan Nuklir ke RUU Energi Terbarukan

METI: Jangan Campur Aturan Nuklir ke RUU Energi Terbarukan

Jakarta, Gatra.com – Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) minta aturan tenang nuklir tidak dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang (RUU) energi terbarukan. Hal ini disampaikan Ketua Umum METI, Surya Darma, dalam pembukaan 'Indonesia EBTKE ConEx ke-10', Senin (22/11).

“RUU energi terbarukan yang perlu segera dibahas agar fokus pada energi terbarukan, dan jangan mencampurkan dengan nuklir dalam RUU ini. Masalah nuklir biarlah dibahas secara terpisah dalam undang-undang ketenaganukliran,” katanya. 

Surya menambahkan, pemerintah juga perlu menyelesaikan peraturan terkait harga energi terbarukan. Upaya ini dilakukan guna menyediakan landasan dalam berusaha, sehingga yang terjadi bukan pola negosiasi yang tidak memberikan kepastian waktu dan usaha.

Selain itu, METI meminta pemerintah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) secara terpadu. Dengan begitu, penguasaan teknologi dan industri energi terbarukan berkembang sesuai dengan perkembangan energi terbarukan dunia. 

Mengusung tema 'Skenario Transisi Energi Menuju Net Zero Emission (NZE)', Indonesia EBTKE Conference and Exhibition ke-10 akan berlangsung selama 22-27 November 2021. Surya pun berharap ajang ini bisa melahirkan skenario untuk membantu mencapai NZE pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat.

Saat ini, Komisi VII DPR sedang melakukan pembahasan terhadap RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Namun, aturan tersebut dinilai tidak fokus dengan energi terbarukan karena turut memasukkan energi fosil yang memanfaatkan teknologi baru.

Sebelumnya, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai RUU EBT versi Agustus 2021 mengandung sejumlah ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan lainnya. Sehingga, menurut mereka, dapat menimbulkan risiko tumpang tindih aturan.

Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Grita Anindarini, menyebut sebagian besar pasal dalam Bab Energi Baru pada RUU EBT hanya pengulangan dari UU Ketenaganukliran juncto UU Cipta Kerja maupun UU Energi.

Ninda mencontohkan, Pasal 11 RUU EBT mengenai pembentukan badan pengawas telah ada dalam Pasal 4 UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Kemudian, Pasal 13 RUU EBT terkait perizinan berusaha nuklir sudah ada dalam Pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 1997 jo UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Pasal 14 RUU EBT tentang tempat penyimpanan limbah lestari telah ada dalam Pasal 25 UU 10 Tahun 1997 jo UU 11 Tahun 2020. Selain itu, Pasal 15 RUU EBT tentang Majelis Pertimbangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sudah ada dalam Pasal 5 UU 10 Tahun 1997,” ungkap Ninda.

Ninda menambahkan, pasal-pasal terkait penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan (Pasal 21, 22, 26, 27, 28, 29 di RUU EBT) juga telah ada dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Menurutnya, pengaturan terkait nuklir dalam RUU EBT malah menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Sebab, Indonesia telah memiliki regulatory framework-nya sendiri. Kalau seandainya diatur dalam UU ini [RUU EBT] justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena ada beberapa pasal yang tumpang tindih tadi,” katanya. 

202