Jakarta, Gatra.com - Indonesia merupakan pasar dan konsumen energi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia pun turut menyumbang dua per lima konsumsi energi di kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah permintaan energi secara keseluruhan akan meningkat hingga lebih dari 30% pada periode 2020-2025. Walau begitu, terlepas dari komitmen negara untuk mengurangi emisi sebesar 29% (tanpa bantuan internasional) pada 2030, Indonesia masih memperoleh skor yang tinggi dalam hal intensitas energi. Hal ini menandakan bahwa Indonesia masih belum menggunakan stok energinya secara efisien.
Efisiensi energi mampu menawarkan keuntungan yang jelas bagi tujuan pengurangan emisi dan ketahanan energi Indonesia, serta memberikan dukungan menyeluruh terhadap tujuan strategis dari pembangunan di bidang sosial ekonomi. Peningkatan efisiensi energi juga dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi negara melalui penciptaan lapangan kerja serta peningkatan daya saing di sektor industri dan komersial. Manfaat-manfaat tersebut merupakan sesuatu yang berharga bagi setiap negara yang sedang berjuang melawan dampak pandemi COVID-19, termasuk Indonesia.
Terlepas dari manfaatnya yang sudah jelas, pengembangan efisiensi energi di Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan. Dalam hal ini, laporan terbaru CPI bertajuk “Exploring Viable Energy Efficiency Business Models in Indonesia” (Menelaah Model Bisnis Efisiensi Energi yang Aplikatif di Indonesia) mengidentifikasi sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan jasa energi atau Energy Service Companies (ESCOs) di pasar efisiensi energi nasional. Laporan ini dikembangkan melalui kolaborasi antara CPI dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Lebih lanjut, isi laporan menyorot hasil riset pasar serta memberikan rekomendasi tentang bagaimana Indonesia dapat melakukan perbaikan dan peningkatan terhadap model bisnis efisiensi energi yang sudah ada.
Laporan menemukan bahwa terdapat beberapa faktor penghambat utama dalam pengembangan efisiensi energi di Indonesia. Adapun salah satu faktor tersebut adalah kurang menariknya proyek-proyek efisiensi energi di mata pebisnis dan investor. Selain itu, petugas pinjaman dan manajer risiko di lembaga keuangan Indonesia juga masih belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang teknologi serta model bisnis efisiensi energi sehingga menimbulkan risiko tinggi pada aspek pembiayaan. Situasi ini juga diperparah oleh terbatasnya akses pebisnis dan investor terhadap benchmark konsumsi energi di lingkup gedung dan industri, juga informasi mengenai pengukuran dampak proyek-proyek efisiensi energi yang mengakibatkan ketidakpastian dalam perhitungan risiko dan hasil investasi.
Hasil laporan studi pun mengungkap bahwa ESCOs masih kesulitan untuk menjembatani kesenjangan antara klien dan investor akibat adanya potensi risiko yang terlihat. Potensi risiko ini disebabkan oleh kurangnya performa dari upaya penghematan energi, sehingga menyebabkan gagal bayar serta mengurangi kepercayaan klien dan investor terhadap proyek-proyek penghematan energi. Lebih lanjut, hasil laporan studi juga menemukan bahwa potensi risiko keuangan yang dirasakan oleh klien dan investor telah terbukti sebagai salah satu rintangan terbesar dalam mengembangkan proyek efisiensi energi di Indonesia.
Hambatan utama lainnya yang tercatat dalam laporan adalah kegagalan dari dua model bisnis efisiensi energi tradisional yang ditawarkan oleh ESCOs, yaitu model penghematan bersama dan model penghematan terjamin. Kedua model ini disebut belum mampu mengatasi tantangan bisnis efisiensi energi di Indonesia.
“Model bisnis haruslah ditingkatkan untuk dapat mempercepat pengembangan efisiensi energi. Sayangnya, model bisnis yang sudah ada saat ini masih gagal untuk dapat mengatasi tantangan pasar. Misalnya, model penghematan bersama yang direkomendasikan untuk klien kecil. Model ini belum berhasil diimplementasikan mengingat situasi ESCOs yang masih tergolong kecil di Indonesia, sehingga sulit untuk memperoleh pendanaan dari bank. Di sisi lain, model penghematan terjamin malah menempatkan klien atau pemilik fasilitas pada posisi yang berisiko karena mereka harus menanggung risiko utang dari bank. Hal ini juga ditambah dengan kurangnya kepercayaan terhadap kapasitas dan kapabilitas ESCOs,” kata Muhammad Zeki, Analis CPI sekaligus bagian dari tim penyusun laporan, dalam rilis yang diterima Gatra.com (22/11).
“Selanjutnya, perjanjian kontrak yang umumnya digunakan di lingkup bisnis efisiensi energi di Indonesia masih belum membahas isu-isu utama tertentu. Dalam studi CPI, kami pun telah menemukan cara untuk mengelola risiko utama dalam model bisnis efisiensi energi yang sudah ada, seperti cara menanggulangi perhitungan project return yang tidak jelas serta biaya investasi terhadap proyek yang terkesan tinggi,” tambahnya.
Melihat situasi yang ada, CPI pun menyarankan perbaikan terhadap model bisnis yang mampu mempercepat pengembangan efisiensi energi di Indonesia. CPI memberikan rekomendasi berupa tiga model bisnis yang merupakan hasil penyesuaian dari model sebelumnya, yaitu,
1) model bisnis jasa-atau-perangkat,
2) model bisnis sewa-dan-beli, dan
3) model bisnis layanan energi berkualitas.
Menurut CPI, model bisnis yang telah disesuaikan ini dapat mengatasi potensi risiko terkait pendanaan dan sumbernya, serta mampu diimplementasikan dan ditingkatkan di Indonesia. Walau begitu, keberhasilan dari model bisnis yang direkomendasikan CPI ini akan tetap memerlukan dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tiza Mafira, Associate Director CPI menegaskan, “Perbaikan model bisnis dan perjanjian kontrak dapat memberikan sejumlah keuntungan dalam mengelola tantangan di sektor bisnis efisiensi energi. Namun, model ini tidak dapat mengatasi risiko yang berkaitan dengan regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, kami percaya bahwa Indonesia masih membutuhkan regulasi yang stabil dan andal untuk bisa terus tumbuh serta mendukung sektor bisnis efisiensi energi tanah air,” katanya. Untuk mengakses laporan lengkap dan infografiknya, silakan klik tautan berikut: https://bit.ly/EEInd