Bantul, Gatra.com -Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bakal menata berbagai objek pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism (CBT). Penataan objek wisata CBT ini dilakukan demi keberlanjutan industri pariwisata Bantul yang saat ini menjadi tumpuan.
Rencana penataan ini diungkapkan Bupati Bantul Abdul Halim Muslih saat menjadi pembicara di workshop Pengembangan Desa Wisata yang digelar Dinas Pariwisata Bantul di rumah dinas Bupati Bantul, Senin (22/11).
"Keberadaan CBT di 43 lokasi tidak lepas dari kreativitas anak-anak muda melihat potensi lokal lingkungannya. Memanfaatkan lahan kosong di bantaran sungai atau lainnya, mereka menyebarkan foto-foto dan video menarik di media sosial," kata Halim.
Di balik apresiasi atas usaha anak-anak muda dalam membangkitkan ekonomi, kehadiran pemkab untuk mendukung keberlangsungan objek wisata masih terkendala aturan.
Salah satu hal yang membuat bantuan dan program kerja baik dari pemkab, pemerintah daerah, bahkan sampai pusat tidak bisa masuk karena status penggunaan lahan.
"Secara hukum karena statusnya lahannya tidak jelas. Ada yang milik pribadi. Bahkan penggunaan tanah kas setelah diteliti dicermati ke bawah belum ada keputusan kepala desa," jelasnya.
Belum lagi penggunaan tanah milik Pemda DIY dan Keraton Yogyakarta atau Sultan Ground. Tanpa ada kejelasan status hukum tanah, program dan bantuan dari pemerintah tidak bisa diakses.
Kondisi ini berbeda dengan daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penggunaan dan pemanfaatan tanah kas desa untuk peningkatan ekonomi melalui wisata berbasis masyarakat tidak serumit di DIY.
"Selain penataan izin penggunaan lahan, kita juga akan melakukan diversifikasi objek wisata berbasis masyarakat agar semua tidak seragam. Agar wisatawan yang datang bisa kita paketkan sesuai dengan wisata yang diminati," jelasnya.
Kepala Dinas Pariwisata Bantul, Kwintarto Heru Prabowo, menambahkan ada tiga aspek yang ingin difokuskan dalam penataan wisata di Bantul yang dijadwalkan selesai Juni tahun depan.
"Pertama soal status penggunaan lahan, kedua pemetaan desa wisata sesuai dengan potensinya, dan terakhir pengembangan desa wisata agar memiliki karakteristik berbeda demi kelanjutan industri pariwisata Bantul," ungkapnya.
Ketiga hal ini bakal menjadi syarat pengembangan CBT ke depan. Ini bertujuan agar objek wisata yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat bisa berkembang dan tidak mati.
"Ada 43 wisata berbasis masyarakat yang terdaftar, tapi 39 di antaranya terdaftar di desa bukan di kabupaten. Dari angka itu, sebanyak 14 CBT tidak jelas nasibnya karena vakumnya pengurus atau hal lainnya," jelas Kwintarto.
Ketua Koperasi Notowono, Desa Mangunan, Dlingo Purwo Harsono, menyebut, selain wisata alam dan penginapan, desa wisata bisa berkembang pesat apabila suasana pedesaan dengan kearifan lokalnya dapat dikemas sebagai daya tarik.
"Patokannya, potensi yang ada diintegrasikan menjadi kekuatan secara utuh," tegasnya.