Pekanbaru, Gatra.com - Kordinator LSM Senarai, Jefri Sianturi berharap, aparat hukum turut memantau perizinan perkebunan kelapa sawit di luar Kabupaten Kuansing.
Menurut Jefri, sorotan terhadap kabupaten lain diperlukan mengingat perkebunan kelapa sawit tersebar di banyak daerah di Provinsi Riau, kecuali Kabupaten Kepulauan Meranti.
"Bila ditilik dari luasan kebun kelapa sawit yang ada di Riau, luasan yang ada di Kabupaten Kuansing termasuk kecil. Artinya proses perpanjangan izin untuk kebun yang lebih luas sangat mungkin terjadi di kabupaten yang lain," terangnya kepada Gatra.com melalui sambungan seluler, Ahad (21/11).
Sebagai informasi, Senarai merupakan LSM lingkungan yang fokus mengamati jalanya proses persidangan kasus hukum di Riau. Dikatakan Jefri, berdasarkan riwayat kasus korupsi yang mendera kepala daerah di Bumi Lancang Kuning, kasus korupsi yang menimpa bupati Kabupaten Kuansing tergolong baru yakni korupsi pertanahan. Biasanya kepala daerah tersandung korupsi perizinan dan pengadaan barang dan jasa.
"Korupsi yang banyak mendera kepala daerah di Riau itu biasanya di sektor pengadaan, kemudian baru perizinan perkebunan dan kehutanan. Jadi profil besaran anggaran dan luasan kebun yang dimiliki daerah, bisa dijadikan acuan untuk menaksir seberapa rentan korupsi di wilayah tersebut,"tandasnya.
Adapun luasan kebun sawit di Kabupaten Kuansing merujuk statistik Dinas Perkebunan Provinsi Riau pada tahun 2019 hanya 82 ribu hektare. Jumlah tersebut jauh dibawah luasan kebun sawit di Kabupaten Rokan Hulu (264 ribu hektare), Kabupaten Kampar (226 ribu hektare), Kabupaten Siak (204 ribu hektare), Kabupaten Rokan Hilir (193 ribu hektare), Kabupaten Bengkalis (142 ribu hektare), Kabupaten Pelalawan (119 ribu hektare) dan Kabupaten Indragiri Hilir (108 ribu hektare).
Sedangkan besaran anggaran Kabupaten Kuansing pertahunnya berada dikisaran Rp1 triliun. Jumlah tersebut berada dibawah anggaran Kabupaten Bengkalis yang mencapai Rp3 triliun pada tahun 2021,maupun kota Pekanbaru (Rp2 triliun).
Disinggung mengenai adanya kepentingan politik yang mendasari tindakan KPK memilih Kabupaten Kuansing sebagai tempat operasi tangkap tangan, Jefri enggan berandai-andai, namun menurutnya aksi KPK di Kabupaten Kuansing telah memberikan shock therapy terhadap bupati di daerah lain.
"Persoalanya, selama informasi seputar perizinan kelapa sawit tertutup bagi publik, maka potensi korupsi pertanahan bisa terjadi. Tentunya, semakin luas daerah itu memiliki kebun sawit, semakin besar juga potensi terjadi tindakan itu (korupsi)."
Adapun Bupati Kabupaten Kuansing, Andi Putra, menjadi pesakitan KPK usai diduga menerima suap senilai Rp2 miliar untuk perpanjangan
hak guna usaha (HGU) milik PT Adimulia Agrolestari.
Salah satu syarat untuk memperoleh perpanjangan HGU adalah dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU.PT Adimulia Agrolestari diketahui ingin membangun kebun kemitraan itu di Kabupaten Kampar, bukan Kabupaten Kuansing.
Selain menjadikan Andi Putra sebagai tersangka, belakangan KPK juga memeriksa Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, M Syahrir, Rabu (17/11). Syahrir diperiksa sebagai saksi dan ditanyai tentang aliran dana suap perizinan HGU.
Sebagai informasi, kasus Andi Putra mendapat sorotan luas lantaran penangkapanya terjadi selang sehari ulang tahun Partai Golkar pada 20 Oktober 2021. Meski KPK membantah aksi mereka disusupi kepentingan politik, namun Andi Putra hanya satu dari sembilan kepala daerah terpilih hasil pilkada 2020 di Provinsi Riau.
Umumnya kepala daerah melakukan korupsi untuk mengakali biaya politik yang dikeluarkan dalam mengarungi pemilihan kepala daerah. Hal itu diungkapkan Pegiat anti korupsi, Dadang Trisasongko, di Pekanbaru Jum'at (5/11).
Dadang menuturkan sistem politik berbiaya mahal, dengan sendirinya mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi politik. Menurutnya perizinan dan pengadaan barang menjadi area yang paling rentan dikorupsi.
"Ada variabel biaya politik yang akan mempengaruhi eksekutif dan legislatif di daerah maupun pusat untuk melakukan korupsi politik," sebutnya.
Diketahui, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 hanya tiga tahun bukan lima tahun. Sebab, pada 2024 mendatang Pilkada serentak akan kembali digelar. UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 mengatur mekanisme tersebut.
Masa jabatan yang terbilang pendek dengan sendirinya mempengaruhi kepala daerah untuk mensiasati pengembalian modal biaya politik. Sebagai informasi , 5 daerah sentra sawit di Riau menggelar pilkada tahun 2020. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Rokan Hulu yang dimenangkan politisi Partai Gerindra dan PDI Perjuangan, Sukiman-Indra Gunawan.
Kemudian Kabupaten Siak yang dimenangkan Alfedri-Husni Merza (PAN-PKB), Kabupaten Rokan Hilir yang dimenangkan Afrizal Sintong-Sulaeman (Golkar-PKB), Kabupaten Pelalawan yang dimenangkan Zukri Mirsan-Nasarudin (PDI P-Golkar), dan Kabupaten Bengkalis yang dimenangkan Kasmarni-Bagus Santoso (PAN, Nasdem, Gedinra).