Home Nasional Komin dan Amber, Cara Berfikir Orang Asli Papua Pemicu Friksi Politik, Begini Cara Pendekatannya

Komin dan Amber, Cara Berfikir Orang Asli Papua Pemicu Friksi Politik, Begini Cara Pendekatannya

Jakarta, Gatra.com- Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (Unipa), Yusuf Sawaki, membeberkan sebuah logika berpikir Orang Asli Papua (OAP) dalam relasinya dengan orang non-Papua yang ia sebut sebagai logika budaya atau “logic of culture”. Dalam hal ini, orang non-Papua direpresentasikan oleh warga atau pemerintah Indonesia.

“Orang Papua itu pada dasarnya memandang dirinya berbeda dari orang lain. Maka ada pemikiran-pemikiran tentang otherness [keliyanan],” ujar Yusuf dalam sebuah webinar hasil riset yang digelar pada Jumat, (19/11/2021).

Yusuf menyebut bahwa karena orang Papua melihat dirinya berbeda dari warga non-Papua, maka terjadilah dikotomi yang bersifat biner: aku vs kamu. Di masyarakat Papua modern, dikotomi tersebut dikenal dengan istilah Komin dan Amber. “Komin itu orang Papua dan Amber itu orang lain,” ujar Yusuf.

Yusuf menceritakan bahwa logika ini merupakan cara pandang yang biasa dan normal bagi OAP dalam melihat orang lain. OAP menggunakan logika tersebut untuk menilai bagaimana orang non-Papua bertingkah, bertindak, dan berpikir tentang orang Papua itu sendiri.

Dengan cara berpikir seperti demikian, kerap terdapat paranoia atau kecurigaan dari OAP terhadap warga non-Papua. Kecurigaan tersebut disinylair berakar dari friksi politik yang telah berlangsung selama beberapa puluh tahun sejak integrasi Papua ke Indonesia pada 1969.

Melalui logika berpikir di atas, OAP selalu bertanya-tanya setiap kali ada pihak pemerintah yang hendak melaksankan pembangunan di wilayah mereka. Yusuf menyebut terkadang OAP curiga apakah negara akan memberikan sesuatu yang baik atau jahat.

Apabila yang dilakukan oleh orang non-Papua dinilai berseberangan dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh OAP, maka jurang kesenjangan keliyanan (otherness) itu akan semakin melebar. “Kalau kebijakan itu merugikan atau mengorbankan orang Papua, maka dia akan melihat [pihak negara] sebagai orang lain dan sampai pada tingkatan tertentu bisa terjadi penolakan-penolakan yang ekstrem,” tutur Yusuf.

Sebaliknya, apabila apa yang dilakukan oleh orang non-Papua itu berterima, maka OAP pun akan membuka tangan untuk menjalin hubungan positif dengan orang non-Papua tersebut. “Jadi kalau pembangunan itu memanusiakan orang Papua, memberikan sentuhan-sentuhan dasar, maka itu akan dilihat sebagai hubungan yang positif,” ujar Yusuf.

Dengan demikian, relasi sosial antara OAP dengan orang non-Papua—dalam hal ini adalah pihak pemerintah RI yang meingimplementasikan pembangunan di Papua—menjadi cara berpikir mendasar OAP dalam memandang hubungan sosialnya dengan orang lain. “Dan itu dibawa dalam kehidupan sehari-hari,” tandas Yusuf.

Reporter: Yoga A. Pratama

 

1365