Jakarta, Gatra.com - Dengan luasan lahan perkebunan kelapa sawit nasional lebih dari 42%, dimiliki petani kelapa sawit, maka perlu dorongan agar praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan yang dilakukan petani kelapa sawit bisa terus terjaga.
Sebab itu pemberdayaan petani kelapa sawit, harus terus dilakukan, demi keberlangsungan perkebunan kelapa sawit di masa depan.
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko, Edy Yusuf, menegaskan, sebenarnya Pemerintah telah mendorong dilakukannya pemberdayaan petani dan organisasi petani untuk pengembangan kemampuan petani, dan organisasi petani agar dapat memperoleh akses dalam memenuhi kebutuhan (modal, teknologi, agro-input, benih/bibit).
Serta pengembangan kemitraan antara petani dan pengusaha dalam berbagai kegiatan di hulu hingga hilir. Menurut Edy, pemberdayaan petani/masyarakat kelapa sawit diantaranya dilakukan dengan pertama, melakukan pendidikan, pelatihan dan magang petani, kedua, pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan. Ketiga, penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha.
Kemudian keempat, pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit. Lantas kelima, kemitraan antara perusahaan besar negara/swasta dengan kelompok tani dalam rangka akselerasi peremajaan sawit rakyat.
“Dibutuhkan adanya sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif serta antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah. Hal ini ditempuh melalui koordinasi dan sinkronisasi antar seluruh stakeholders yang dilakukan secara berkala,” kata Edy dalam acara Webinar FGD Sawit Berkelanjutan Vol. 10, bertajuk “Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat”, yang diadakan InfoSAWIT, Kamis (18/11) lalu.
Menurut Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, guna mendukung petani sawit swadaya, solusi Indonesia adalah melalui program penanaman kembali petani besar-besaran yang bertujuan untuk membantu petani sawit swadaya memperbaharui perkebunan kelapa sawitnya dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan, dan berkualitas serta mampu mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan).
Sunari memaparkan, ada 4 aspek penerapan PSR mencakup 4 aspek, mencakup aspek legalitas, aspek produktivitas, aspek sustainability, dan pemenuhan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dengan memastikan prinsip keberlanjutan, kata Sunari, peserta program ini diharuskan untuk mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama.
Hanya saja dalam praktiknya program yang digagas pemerintah ini masih menghadapi beberapa kendala. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, permasalahan itu antara lain masih tingginya tanaman sawit rakyat yang sudah memasuki masa peremajaan dan tingkat produktivitas yang rendah, padahal pemerintah mentargetkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) setiap tahun minimal 180 ribu Ha.
Lebih lanjut kata Mukti, dana PSR yang disediakan sebesar Rp 30 juta hanya cukup untuk Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)1. “Lantas bagaimana dengan dana sampai TM1, sumber pendapatan pekebun selama tanaman belum menghasilkan?” tutur Mukti.
Sebab itu GAPKI dalam mendukung PSR, dengan melakukan pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yang melibatkan seluruh Cabang GAPKI, dimana cabang melakukan assesment dan pemetaan potensi lahan dan petani PSR disekitar anggota, update perkembangan penanaman).
Sedangkan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, menegaskan, dalam pemberdayaan petani kelapa sawit swadaya kerap tidak sesuai sasaran, kata dia, ibarat peribahasa “lain gatal lain yang digaruk”.
Sebab itu ke depan perlu ada komitmen dari para pelaku kelapa sawit untuk mendukung pengembangan petani sawit swadaya. Terlebih saat ini sebanyak 20 kebupaten/kota telah berkomitmen menerapkan Rancana Aksi Daerah (RAD), yang sejatinya bisa bermanfaat bagi perkebunan kelapa sawit. “Bila melihat kondisi petani kelapa sawit sangat miris, belum lagi perlu adanya peningkatan Best Management Practicess (BMP),” ungkap Darto.