Jakarta, Gatra.com – Peneliti BRIN dari satuan kerja Pusat Penelitian Kewilayahan, Cahyo Pamungkas, mengungkapkan tingkat partisipasi siswa-siswi sekolah di wilayah pedalaman Papua berada di angka rata-rata dua tahun atau hanya mencapai kelas dua Sekolah Dasar (SD).
“Tingkat partisipasi lama sekolah [di pedalaman Papua] itu masih di bawah dua tahun ya. Di Nduga itu, tingkat partisipasi sekolah itu rata-rata dua tahun. Artinya tidak sampai kelas tiga,” ujar Cahyo dalam sebuah seminar riset pada Jumat, (19/11).
Di wilayah konflik pun tak jauh berbeda. Di wilayah-wilayah rawan kontak senjata antara TPNPB-OPM dan TNI/Polri seperti Intan Jaya dan Puncak, menurut Cahyo, tingkat partisipasi siswa-siswi sekolahnya hanya berada di kisaran lima tahun saja alias tak tamat SD.
Cahyo menuturkan, wilayah pedalaman atau kabupaten-kabupaten dengan mayoritas penduduk Orang Asli Papua (OAP)—biasanya wilayah pegunungan—memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kisaran 40-50.
Angka IPM tersebut jauh di bawah angka IPM Kota Sorong dengan angka 73 dan Kota Jayapura dengan angka 72, yang menurut Cahyo tak jauh berbeda dengan angka IPM di banyak wilayah di Jawa. Menurutnya, angka IPM yang tinggi tersebut dipengaruhi pendatang atau migran di wilayah-wilayah itu.
Padahal, menurut catatan Cahyo, jumlah SD, SMP, dan SMA negeri di Papua dan papua Barat meningkat pada periode 2004-2020. Jumlah SD meningkat dari 810 sekolah menjadi 1.071 sekolah. Jumlah guru SD mengalami kenaikan dari 5.295 guru menjadi 8.074 guru.
Sementara itu, jumlah SMP mengalami kenaikan dari 151 sekolah menjadi 310 sekolah. Lalu jumlah guru SMP meningkat dari 2.185 guru menjadi 3.948 guru. Sedangkan jumlah SMA meningkat dari 50 menjadi 122 sekolah. Jumlah guru SMA meningkat dari 1.169 guru menjadi 2.299.
Cahyo membeberkan berbagai penyebabnya. Paling utama, menurutnya, adalah tuntutan untuk membantu orang tua bekerja ke kebun. Hal tersebut diperburuk dengan orang tau yang tak melihat pendidikan sebagai instrumen untuk memperbaiki masa depan anaknya.
“Tapi program-program yang sangat bagus itu nyatanya masih banyak anak-anak Papua yang tidak merata. Maksudnya ada yang tertinggal, ada yang maju,” ujar Cahyo.
Penyebab lainnya adalah mengungsinya anak-anak tersebut dari zona konflik seperti Nduga.
“Anak-anak itu ikut orang tuanya mengungsi. Kemudian mereka meninggalkan sekolah. Di pengungsian enggak ada sekolah. Mana ada sekolah di pengungsian? Memang dulu pernah ada sekolah sementara, tapi itu hanya satu atau dua bulan,” tutur Cahyo.
Sementara dari segi kultural, penyebabnya adalah siswa-siswi pedalaman Papua tersebut tak terbiasa duduk berjam-jam di atas bangku sekolah mendengarkan ceramah guru mengajarkan materi pelajaran.
“Ketika mereka sudah di bangku sekolah, mereka tidak memiliki kultur untuk mendengar ceramah guru yang lama. Jadi cara pandangnya itu sebetulnya learning by practice. Mereka ingin belajar dengan praktik,” ujar Cahyo.
“Itulah yang dinamakan pendidikan kontekstual. Jadi, siswa itu tidak duduk di kelas dari jam 7-12, tapi mereka diberikan kesempatan untuk belajar dengan alam, dengan flora dan fauna,” imbuh Cahyo.
Cahyo mencontohkan situasi pendidikan kontekstual tersebut. Anak-anak di pedalaman Papua lebih fasih mengenal dan menulis jenis-jenis tumbuhan pakis dan katak yang hidup di sekitar tempat tinggal mereka, ketimbang mempelajari materi yang sesuai dengan kurikulum nasional.
“Kalau [anak-anak pedalaman Papua] diminta untuk membayangkan sawah atau pantai ya susah, tetapi ketika mereka diminta menggambarkan alam sekitarnya [pegunungan], mereka bisa dapat lebih menguasai,” ujar Cahyo.
Akademisi Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), I Nyoman Sudira, menduga situasi tersebut disebabkan internalisasi keliyanan (otherness) pada diri orang-orang di pedalaman Papua. Ia memandang bahwa orang-orang di pedalaman Papua sulit menerima cara pengajaran yang dilakukan oleh orang non-Papua.
“Kalau kita lihat dari the logic of culture, mungkin dari tataran budaya yang dimiliki saudara kita di pedalaman Papua, edukasi yang formal yang seperti apa yang kita lakukan itu bukan sesuatu yang [cocok] bagi mereka,” ujar Nyoman.
Sementara itu, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Rini S. Modouw, persoalan pendidikan di pedalaman Papua ini bukanlah persoalan kurikulum nasional yang kurang cocok dengan kultur pendidikan di Tanah Papua.
“Dari nasional itu memang harus ada kurikulum nasional sebagai standar atau pakem yang utama, tetapi bagaimana itu diterjemahkan di level bawah, itu butuh kreativitas guru dan penguatan kapasitas guru dari Dinas Pendidikan terkait,” ujar Rini.
Rini lebih mempertanyakan pada kepemimpinan para kepala daerah setempat. Menurutnya, Kepala Dinas Pendidikan di masing-masing daerah harus menerjemahkan kurikulum nasional tersebut ke dalam konteks kultur Papua kepada kepala sekolah sekaligus guru-gurunya.
Rini menyatakan bahwa pemerintah pusat menjamin kebebasan sekolah atau guru untuk mengkreasikan silabus pengajaran yang sesuai dengan kultur anak-anak sekolah di pedalaman Papua.
“Mestinya Kepala Dinas punya satu program yang bagus untuk melatih skill [para guru] karena anak-anak ini akan hidup kembali di masyarakatnya sehingga masalah besar itu kita kurangi sedikit demi sedikit dan kita bisa menemukan titik perdamaian [di Papua],” ujar Rini.