Jakarta, Gatra.com - Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyarankan agar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan bisa memperluas manfaat pelatihan kerjanya dan tak terbatas hanya kepada para pekerja/buruh yang terkena PHK saja.
“Menurut saya, JKP harusnya lebih menekankan pada pelatihan dan informasi pasar kerja dan yang mendukung adalah dana tunai. Jangan juga itu hanya dipandang sebatas kita hanya mau mendapatkan dana tunai,” ujar Timboel dalam dialog publik yang digelar oleh GATRA Media Group pada Kamis, (18/11/2021).
Seperti diketahui, JKP memiliki tiga manfaat yang bisa didapatkan oleh pekerja/buruh yang terkena PHK. Manfaat-manfaat tersebut meliputi uang tunai yang bisa didapat selama kurun waktu tertentu. Selain itu, korban PHK juga bisa mendapat manfaat layanan akses informasi pasar kerja dan skema pelatihan agar pekerja/buruh korban PHK bisa segera kembali mendapatkan pekerjaan baru.
Secara spesifik, Timboel merujuk pada manfaat JKP yang tertuang pada Pasal 46D Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Di dalam pasal tersebut tertuang bahwa peserta yang mendapatkan manfaat JKP adalah orang yang ter-PHK, kecuali pekerja yang PKWT-nya telah jatuh tempo.
“Kalau menurut saya, justru mereka juga orang yang berhak untuk mendapatkan pelatihan. Demikian juga orang yang pensiun. Pensiun itu kan memang karena usia nggak bisa kerja lagi, tapi kan semangat kerjanya juga ada,” ujar Timboel.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa dari sebanyak 206,17 juta penduduk usia kerja, angkatan kerja Indonesia didominasi oleh pekerja lulusan SMP. Angkanya mencapai 55,45%.
Sebagai perbandingan, pekerja lulusan SMA/SMK berjumlah 31,73%. Sementara pekerja lulusan diploma atau sarjana dari universitas hanya menyentuh angka 12,82%.
Kemudian, apabila ditilik dari segi sektor pekerjaan, sektor informal juga masih mendominasi ketimbang sektor formal. Data BPJS Ketenagakerjaan pada Agustus 2021 menunjukkan bahwa tenaga kerja informal adalah sebanyak 59,45%, sementara pekerja formal hanya 40,55%.
“Menurut saya [perluasan manfaat pelatihan kerja] harus kita kembangkan. Dengan konstruksi angkatan kerja kita yang masih didominasi oleh lulusan SMP, menurut saya ini juga harus dibuka akses pelatihan sedemikian luasnya sehingga produktivitas bisa muncul, bisa berkembang, bisa meningkat karena kita berkualitas dengan pelatihan-pelatihan vokasional,” tandas Timboel.
“Artinya bagaimana JKP itu memberikan akses lebih luas kepada pelatihannya, bukan saja kepada misalnya uang tunai,” pungkas Timboel.