Jakarta, Gatra.com – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memproyeksikan, implementasi B50 berpotensi menyebabkan terjadinya pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektar secara akumulasi hingga tahun 2025.
Studi tersebut dibantah oleh Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, dalam diskusi daring pada Selasa (16/11). Dia menjelaskan, pelaksanaan program B50 membutuhkan sekitar 16 juta kiloliter (kl) atau 13,92 juta ton sawit.
Sementara, rata-rata kebun sawit mampu menghasilkan 3,25 ton per hektar/tahun. Maka, total kebutuhan lahan untuk program B50 kira-kira seluas 4,28 juta hektar. Sehingga, peralihan B30 ke B50 perlu tambahan biodiesel sekitar 5,39 juta ton dan butuh 1,66 juta hektar.
“Namun, saat ini tidak bisa dan tidak perlu menambah lahan karena program intensifikasi dan dapat mengurangi ekspor. Menurut saya, data dari LPEM UI tersebut tidak tepat dan membahayakan kita. Saya minta dikoreksi kalau memang ini salah,” imbuhnya.
Sepanjang 2020, total produksi kelapa sawit mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66%) di antaranya diekspor ke berbagai negara dan 17,35 juta ton (34%) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Hasil sawit Indonesia memang lebih banyak untuk keperluan ekspor.
Secara rinci, ekspor sawit terdiri atas 21,1 juta ton berupa produk olahan dan makanan, 9 juta ton crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO), serta 3,88 oleokimia. Adapun penggunaan domestik mencakup 8,43 juta ton berwujud produk olahan dan makanan, 7,23 juta ton untuk biodiesel, dan oleokimia 1,69 juta ton.
“Jadi, biodiesel hanya menggunakan sekitar 14% dari total produksi sawit Indonesia pada 2020. Kami memproyeksikan, kebutuhan sawit untuk biodiesel tahun ini kira-kira 15,2% dari total produksi sawit pada 2021,” terangnya.