Jakarta, Gatra.com- Psikolog Klinis Dewasa, Pingkan Rumondor, S.Psi, M.Psi Workplace bullying tidak hanya bisa dilakukan secara langsung tapi bisa juga secara online via telepon maupun cyberbullying.
Ia menjelaskan bahwa workplace bullying merupakan serangkaian perilaku yang dilakukan secara sengaja dan berulang untuk mengintimidasi, menjatuhkan atau menyakiti orang lain di tempat kerja.
Contoh Workplace bullying, lanjut Pingkan, seperti kekerasan fisik, verbal dan pengucilan. Serta pemboikotan dan juga sabotase pekerjaan. “Aksi workplace bullying dapat melibatkan tiga pihak. Pelaku, target dan saksi," katanya dalam webinar “Zero Tolerance for Workplace Bullying”, Senin (16/11) kemarin.
Pertama adalah pelaku, yang kebanyakan menyerang titik lemah target agar mereka terlihat berkuasa. Sehingga menutupi rasa malu terhadap ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam dirinya.
Kemudian ada target, yang secara sengaja dipermalukan sehingga dapat mengalami berbagai efek psikologis. Seperti kecemasan, gejala depresi, hingga gejala post-traumatic stress disorder yang berdampak pada terganggunya keseharian dan produktivitas.
Ketiga adalah saksi, tanpa pemahaman yang cukup mengenai cara menghadapi situasi workplace bullying, seringkali saksi mata hanya berdiam diri. Selain itu, semakin banyak orang yang menjadi saksi, ada kecenderungan saksi makin tidak tergerak menolong karena menunggu orang lain bergerak lebih dulu atau disebut juga bystander effect.
"Saksi memiliki peranan yang krusial untuk mengintervensi perilaku tidak menyenangkan tersebut,” ungkap Pingkan. Keberanian menjadi kunci bagi target maupun saksi dalam melawan workplace bullying.
Yakni dengan cara bersikap asertif untuk menolak sesuatu yang mengusik psikologis mereka. Namun selain itu, mereka juga harus percaya bahwa mereka terlindung di bawah perusahaan yang memiliki kebijakan kuat terhadap segala bentuk diskriminasi dan bullying.
Nicky Clara, seorang Disability Womenpreneur menyebut, masih banyak teman-teman penyandang disabilitas yang rentan mengalami workplace bullying. Misalnya karena stigma terhadap keterbatasan kemampuan mereka, rasa iba yang berlebihan dan lainnya.
"Sayangnya mereka masih enggan bersuara, contohnya karena takut kehilangan pekerjaan yang sudah susah payah mereka dapatkan," tegas Nicky.
Karenanya, menurut dia, setiap perusahaan seharusnya menerapkan prinsip kesetaraan dan inklusivitas sebagai acuan bagi penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak karyawan di tempat kerja.
"Termasuk untuk teman-teman penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat bekerja dengan nyaman, efektif dan produktif,” papar Nicky.