Yogyakarta, Gatra.com - Desa wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta bertahan saat terpukul pagebluk Covid-19. Bukan hanya mengandalkan kunjungan wisatawan, desa wisata mengoptimalkan segala potensinya untuk bangkit.
Seperti halnya desa wisata lain, Dusun Gamol di Balecatur, Gamping, Sleman, DIY, terimbas pandemi. Desa ini menjadikan edukasi pertanian sebagai daya tarik utama. Di kompleks dusun ini yang semula hany aberupa alang-alang ini kini terdapat kebun aneka bunga dan sayuran, peternakan kambing etawa, pengelolaan sampah, hingga budi daya jamur.
Sejak diresmikan di pengujung 2018, Gamol kerap menjadi tujuan wisata terutama bagi anak-anak, keluarga, hingga pelajar dan rombongan sekolah. Tak heran, sebelum masuk ke area desa, pengunjung pun disambut atraksi para bocah setempat, yang tampil dalam kirab bergada anak dalam busana prajurit keraton.
Namun saat pagebluk menghantam dan semua kegiatan dibatasi, kedatangan wisatawan termasuk para pelajar pun anjlok. “Pandemi ini dampaknya terasa banget. Pengunjung turun drastis,” ujar Dukuh Gamol, Tamtama, Sabtu (13/11).
Namun kondisi itu tak membuat warga Gamol berpangku tangan. Mereka mengerahkan segenap sumber daya untuk bertahan di masa wabah. Jika selama ini desa memberi edukasi ke pengunjung sembari mengolah hasil budi daya mereka, selama pandemi produk pertanian itulah yang menjadi prioritas pengembangan.
“Dari awal kami sudah mendapat berbagai pelatihan yang bisa membantu ekonomi. Lama tidak ada pengujung justru menjadi tantangan bagi kami,” ujar Tamtama, optimistis.
Dengan ‘modal’ itu, Gamol mendorong produksi desa dan penjualannya. Peternakan kambing etawa dioptimalkan hingga mampu menjual anakan kambing 1-3 ekor per bulan. Ibu-ibu Gamol juga masih giat mengolah susu kambing itu menjadi produk minuman yang punya khasiat kesehatan.
Produk herbal, yang meningkat konsumsinya selama pagebluk karena berguna mendongkrak imun tubuh, puncoba dilirik, seperti minuman wedang uwuh dan jeruk nipis. “Meskipun produk-produk ini masih kalah dari pengobatan medis,” katanya.
Produksi jamur, yang diolah jadi aneka makanan seperti kaldu hingga abon, dipasarkan dengan memperluas rekanan sebagai reseller. “Pokoknya kami promosi habis-habisan. Produk kami jual langsung atau lewat media sosial,” tutur Tamtama.
Masa pandemi juga menjadi momentum untuk makin menguatkan pemberdayaan warga desa. Generasi muda, misalnya, dipercaya untuk mulai mengembangkan budi daya burung merpati secara lengkap, mulai dari teknik menerbangkan hingga pemeliharaan dan pembuatan kandangnya. “Ini sesuai visi kami dalam pemuliabiakan hewan dan unggas. Ke depan, ini juga bisa jadi edukasi tersendiri,” kata dia.
Situasi sepi desa wisata juga terasa saat Gatra.com menyambangi Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul, beberapa waktu lalu. Sentra batik tradisi ini ditetapkan sebagai desa wisata sejak 2007, setahun usai gempa bumi yang melanda DIY.
Wukirsari juga pernah terpuruk selepas erupsi Merapi pada 2010, tapi berhasil bangkit. Semangat bertahan dari dua bencana itu membuat warga Wukirsari juga yakin mampu melewati pagebluk.
“Meski bisnis utama kami drop sampai 70 persen, kami lakukan sekuat kami, terutama pemasaran online,” tutur Ketua Paguyuban Batik Giriloyo, Wukirsari, Nur Ahmadi.
Di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2 di DIY, 135 tempat wisata telah dibuka, termasuk sejumlah desa wisata, yang telah menerapkan aplikasi Peduli Lindungi dan tentu saja protokol kesehatan.
Pemda di DIY telah berupaya membangkitkan desa wisata di masa pandemi. Mulai dari kucuran dana, pendampingan, hingga gelaran vaksinasi. Sekitar 40 kali vaksinasi digelar di tempat rekreasi, termasuk desa hingga turut menyumbang capaian 94 persen vaksinasi dosis pertama dan 80 persen dosis kedua di DIY.
Bukan hanya dari pemerintah, dukungan untuk desa wisata di masa pandemi juga datang dari BUMN. Pertamina, contohnya, menjalankan CSR untuk mengembangkan desa wisata di DIY sejak 2011.
Pertamina membantu pengembangan desa wisata Gamol sejak awal, termasuk dalam promosi budi daya jamur di masa pandemi ini. Di Wukirsari, Bantul, perusahaan energi ini mengembangkan areabelajar membatik dan toilet berstandar international pada 2017.
Unit Manager Communication, Relations, & CSR Pertamina Pemasaran Regional Jawa Bagian Tengah, Brasto Galih Nugroho, menyatakan Pertamina akan terus memberi dukungan pada desa wisata, termasuk di masa pagebluk. Apalagi langkah ini telah diapresiasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
“Dua desa wisata binaan Pertamina, yakni Desa Nglanggeran di Gunungkidul dan Desa Lerep di Kabupaten Semarang, masuk ke daftar 16 Desa Wisata Berkelanjutan Kemenparekraf 2021 dari seluruh desa di Indonesia,” tutur dia.
Menurutnya, dukungan untuk desa wisata di kala pandemi ini dapat memotivasi masyarakat setempat untuk bangkit dan terus meningkatkan kualitas wisata mereka.
Pengajar program studi pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Intan Purwandani menjelaskan, desa wisata menjadi identitas pariwisata Yogyakarta. Empat desa wisata di DIY bahkan masuk 50 besar desa wisata terbaik dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021.
“Desa wisata di Jogja potensinya besar dan kompetitif, bukan dalam arti persaingan pasar tapi punya semangat tinggi dan keseriusan mengemas produk wisatanya untuk dipasarkan,” tuturnya.
Uniknya, kata Intan, desa wisata tak semata menggantungkan diri secara ekonomi kepada sektor pariwisata karena dikelola warga lokal yang memiliki pekerjaan utama. Desa wisata di DIY pun bertahan karena punya modal sosial budaya yang kuat.
“Masyarakat pariwisata di desa wisata lebih resilien menghadapi pandemi. Sehingga justru momen pandemi menjadi momen persiapan mereka untuk berbenah memperbaiki fasilitas, merancang pemasaran dan ekosistem digital, membangun sarana prasarana dan atraksi lain,” paparnya.
Dengan demikian, desa wisata memiliki strategi bangkit yang berbeda dengan jenis industri pariwisata lain. “Mereka fokus perbaikan atas kekurangan-kekurangannya selama ini, monitoring dan evaluasi untuk bersiap membuka kembali,” kata dia.
Pemda DIY telah menjadi fasilitator dan memberi support system yang ramah bagi desa wisata. Dalam konteks pandemi, pemerintah lebih semangat membuka kembali keran-keran pariwisata di Yogyakarta.
“Menariknya, pihak desa wisata dengan segala modal sosial cukup mandiri untuk mengendalikan dan menilai kesiapan menerima wisatawan kembali. Banyak pula desa wisata justru bertahan menutup pintu itu karena pertimbangan penyebaran virus dan demi keseimbangan kehidupan sosial budaya masyarakatnya,” tutur Intan.
Adapun peran BUMN dan swasta dengan CSR-nya tetap diperlukan untuk mendampingi desa wisata, terutama untuk berbagi pengetahuan dan infrastruktur ekosistem digital yang makin relevan di masa pandemi.
“Segala bentuk dukungan dan pendampingan dari pemerintah dan swasta semoga tidak semata-mata berorientasi pada profit yang membuat desa wisata harus mengekstraksi segala sumber daya hingga merusak tatanan sosial masyarakatnya,” kata Intan.