Home Sumbagsel Kritikan Jalur Rempah Lewat Teater Berjudul Nusantara: Amnesia

Kritikan Jalur Rempah Lewat Teater Berjudul Nusantara: Amnesia

Palembang, Gatra.com- Komunitas Berkat Yakin (KoBER) yang berasal dari Provinsi Lampung menampilkan kisah ‘Nusantara: Amnesia’ dalam Festival Sriwijaya dalam Jejak Rempah di Taman Budaya Sriwijaya Palembang, Jumat, (12/11).

Teater yang dipentaskan itu menceritakan sekelompok orang hidup dalam mimpi buruk dan kehilangan sejak sang Liyan masuk ke kampung, ke rumah dan ke ruang tamu mereka. Bahkan, juga sang Liyan yang bukan cuma mengambil rempah-rempah, melainkan segenap masa lalu, cara berpikir hingga tradisi mereka.

Hingga akhirnya sang Liyan mulai memberi sekaligus menata masa depan dan cita-cita hingga mereka pun menjadi asing dengan rumah dan kampungnya sendiri.

Sutradara Teater ‘Nusantara: Amnesia’, Ari Pahala Hutabarat, menyampaikan kisah yang dipentaskan dalam festival di Kota Pempek ini berupa kritikan kepada pemerintah tentang keikutsertaan Indonesia dalam mengusungkan Jalur Rempah atau Jalur Budaya Warisan Dunia. Sebab, Nusantara atau Indonesia pernah jaya akibat rempahnya.

Lantas, apakah Indoensia pernah jaya, makmur dan sentosa karena rempah-rempah tersebut? “Saya rasa faktanya tidak. Karena secara historis dan melalui kegiatan apapun kita tidak jaya. Nah, justru rempah itu kemudian jadi semacam sebab dan alasan untuk kemudian bangsa lain datang ke sini memasuki ruang tamu kita dan mempengaruhi atau mengekspor kita dengan tradisi dan budaya mereka, sehingga tradisi kita menghilang. Ini kritik untuk jalur rempah itu,” ujarnya.

Menurutnya, komoditi rempah yang hype pada zaman itu ialah lada. Dimana, Nusantara pernah menjadi lumbung lada besar untuk Hindia-Belanda pada kisaran tahun 1930 silam.

“Yang mana, 76 persen ekspor lada di Belanda itu datangnya dari Lampung. Menanamnya di Lampung, tapi bukan punya masyarakat Lampung. Itu punya Hindia-Belanda, Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang Darusalam, VOC (Perusahaan Dagang Belanda) dan Inggris. Pribumi di Lampung tak pernah menikmati rempah itu (lada),” katanya.

Kemudian, lanjutnya, kondisi Lampung pascaberakhirnya kejayaan tadi masih tetap menanam lada. Hanya saja, dengan harga yang sudah tidak sama lagi. Karena itulah, program pemerintah terkait Jalur Rempah itu menjadi sebuah utopia belaka.

“Nah, kita mengambil nostalgia, kita pernah jaya ini gagal, tak terbukti bahwa kita dengan rempah ini jaya. Jadi, kita produksi kembali rempah secara ekonomis dengan nilai tambah ke masyarakat, tapi saat sudah mempertanyakan harga rempah, berapa sih harga rempah sekarang? Jadi nonsen program jalur rempah itu,” ujarnya.

Dijelaskannya, jalur rempah sendiri baginya merupakan kebijakan kultural atau tindakan kebudayaan. Seharusnya pemerintah melibatkan banyak budayawan dan seniman untuk mengkaji secara sungguh-sungguh. “Tindakan-tindakan kultural pun didasarkan atas kalkulasi-kalkulasi kultural, bukan kalkulasi ekonomi. Inika menggunakan kalkulasi ekonomi, sehingga tak semuanya bisa diekonomisasikan,” katanya.

Karena itu, ia sangat berharap pemerintah ke depan harus melibatkan budayawan dan seniman. Khususnya untuk berdiskusi lebih lanjut tentang jalur rempah yang diinisiasi oleh pemerintah tersebut. “Tentunya, budayawan dan seniman bisa juga berpikir. Emang orang politik saja yang bisa mikir, kita pun bisa,” katanya.

1371