Jakarta, Gatra.com – Situasi menegangkan masih menyelimuti Myanmar. Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) mencatat, setidaknya 1.258 warga telah tewas karena kebrutalan junta militer dan sebanyak 10.094 orang ditangkap per 12 November 2021.
Staf Advokasi dan Kampanye Asia CIVICUS, Cornelius Hanung, menyatakan bahwa pihaknya sedang menyoroti peningkatan kekerasan di daerah-daerah konflik di Myanmar. Menurutnya, junta militer masih mengirimkan pasukan dan melakukan penyerangan sewenang-wenang terhadap warga.
“Baru-baru ini, CIVICUS bersama 350 organisasi masyarakat sipil lain mengirimkan surat ke Dewan Keamanan PBB untuk meminta intervensi terhadap hal ini. Salah satu contohnya, meminta agar setop embargo, setop funding untuk junta militer, dan membawa junta ke pengadilan internasional,” ungkapnya, Jumat malam (12/11).
Tetapi, Hanung mengaku cukup kecewa lantaran resolusi Dewan Keamanan PBB tampak kurang kuat. Dia pun menambahkan, terdapat tren yang menunjukkan junta militer menggunakan pandemi Covid-19 sebagai posisi tawar.
“Jadi, junta sengaja menahan bantuan-bantuan terkait Covid-19 dan kemanusiaan. Ini semacam untuk menghukum rakyat atas perlawanan yang dilakukan. Di sisi lain, ada kecenderungan menjadikan itu sebagai pertukaran legitimasi ke pemerintah internasional,” jelasnya.
Saat ini, Myanmar tengah menghadapi tiga krisis sekaligus. Krisis politik akibat kudeta pemerintahan yang dilakukan junta militer, krisis kesehatan karena pandemi Covid-19, dan krisis ekonomi yang membuat harga kebutuhan pokok melonjak.
Hanung memperkirakan jumlah korban akan semakin banyak, jika tidak ada perbaikan dari junta militer maupun upaya dunia internasional. Pasalnya, rakyat Myanmar terutama kaum muda akan terus melakukan perlawanan terhadap pemerintahan junta.