Jakarta, Gatra.com – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Himmatul Aliyah, berpendapat bahwa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi mengabaikan nilai-nilai agama.
Himmatul dalam keterangan tertulis, Kamis (11/11), menyampaikan, meskipun menghargai maksud dikeluarkannya Permendikbudristek ini, yakni sebagai upaya menciptakan kehidupan kampus yang bebas dari kekerasan seksual, namun Permendikbut tersebut mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pendekatan dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Padahal menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945, upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tidak lepas dari nilai-nilai agama. UUD 1945 Pasal 31 Ayat (3) menyebutkan secara eksplisit bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia.
“Pasal 31 ayat (3) berbunyi, 'Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang',” ujarnya.
Sedangkan pada Pasal 31 Ayat (5) disebutkan bahwa memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap menjunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa. Pasal 31 ayat (5) berbunyi, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Legislator dari Daerah Pemilihan DKI II, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri ini melanjutkan, Permendikbudristek tersebut merujuk sejumlah UU, antara lain UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang di dalamnya mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan yang menghargai nilai-nilai agama.
Meski merujuk sejumlah UU, kata Himmatul, Permendikbudristek tersebut justru mengabaikan nilai-nilai agama dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sedangkan pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, “Pendidikan Tinggi bertujuan: a. berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;…”
“Agama antara lain mengatur masalah seksual, termasuk melarang kekerasan seksual. Sayangnya, Permendikbudristek ini justru mengabaikan pendekatan agama dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi,” ujarnya.
Pengaturan mengenai sejumlah jenis kekerasan seksual dalam Permendikbudristek ini, yakni Pasal 5 yang menyebutkan bahwa aktivitas seksual disebut kekerasan seksual karena tidak mendapat persetujuan korban, bahkan tidak memandang penting nilai-nilai agama yang telah dianut dan diyakini masyarakat Indonesia.
“Alih-alih mencegah kekerasan seksual, Permendikbudristek ini justru membiarkan aktivitas seksual di lingkungan kampus yang bertentangan dengan nilai-nilai agama,” katanya.
Menurut Himmatul, salah satu upaya mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah dengan melarang segala aktivitas seksual yang melanggar nilai-nilai agama. Adanya pembiaran terhadap aktivitas seksual di lingkungan kampus pada akhirnya tidak hanya membuat kehidupan kampus menjadi tidak manusiawi dan tidak bermartabat, tetapi juga rawan menimbulkan kekerasan seksual.
“Lingkungan kampus seharusnya bebas dari segala kegiatan seksual yang melanggar nilai-nilai agama. Tidak hanya di lingkungan kampus, segala aktivitas seksual yang melanggar nilai-nilai agama tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan jati diri dan kepribadian bangsa yang menganut Pancasila,” katanya.
Pasal 284 KUHP telah tegas melarang perbuatan zina. Untuk itu, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan ahlak mulia, maka pendidikan seharusnya bisa menanamkan kesadaran untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi larangan agama, termasuk dalam hal ini menghindari perbuatan yang oleh agama dipandang sebagai perbuatan tercela.
“Salah satu jati diri Partai Gerindra adalah religius, yakni memegang teguh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya berpandangan sejumlah pengaturan dalam Permendikbudristek ini tidak mengedepankan nilai-nilai agama sehingga saya meminta agar Mendikbudristek dapat merevisi Permendikbudristek ini agar dalam mengaturannya sejalan dengan nilai-nilai agama,” ujarnya.
Himmatul menyampaikan, pihaknya berpendapat bahwa segala kebijakan pemerintah harus dapat menempatkan kehidupan beragama di Indonesia dalam format kemasyarakatan dan kenegaraan yang berlandaskan Pancasila, sehingga keluhuran agama dapat dipelihara seiring dengan kemajuan bangsa.
“Saya berpandangan bahwa segala aturan mengenai penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi harus seiring sejalan dengan upaya menjaga keluhuran nilai-nilai agama,” kata perempuan yang juga Anggota BKSAP DPR tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 3 September 2021menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Permendikbudristek tersebut bertujuan sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan.
Kemendikbudristek menyatakan bahwa Permendikbudristek tersebut merupakan hasil kolaborasi Kemendikbudristek dengan berbagai kelompok sivitas akademika perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan kementerian serta lembaga negara terkait lain.