Jakarta, Gatra.com- Gelaran Channel YouTube Dewan Kesenian Jakarta, Ahad, 7 November 2021 mulai jam 19.00 menyajikan virtual event Pekan Komponis Indonesia 2021. Salah satunya menyajikan semangat perburuan suara seorang Rani Jambak, komposer, musisi, sekaligus vokalis yang lahir di kota Medan.
Jiwa berkesenian Rani membawanya melanglang buana menyinggahi berbagai daerah di Nusantara. Rani membiarkan dirinya "mengalir", mendengarkan panggilan jiwanya untuk "mengembara" mencari suara-suara yang direkam dan kemudian diolahnya menjadi sebuah karya komposisi creative soundscape.
Dalam gelaran bergengsi Pekan Komponis Indonesia 2021 itu, Rani meluncurkan karya terbarunya yang bertajuk Merantau (in Progress). Agenda tahunan itu dihelat Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak tahun 1979, yang dulunya program ini bernama Pekan Komponis Muda. Karya Rani ini merupakan olahan kreatif dari kumpulan suara-suara yang telah direkamnya sejak tahun 2019 sampai 2021.
Dalam program ini Rani akan meluncurkan karya yang dikomposisinya pada Oktober 2021, di mana untuk video penampilannya dikerjakan Evi Ovtiana. Acara virtual ini dapat disaksikan di channel YouTube Dewan Kesenian Jakarta, berupa performance dan diskusi karya dari 10 komponis muda yaitu: Kristijan Krajnan, Jody Diamond, Gatot Danar Sulistiyanto, Aryo Adhianto, Jason Mountario, Markus Rumbino, Rifal Taufani, Sraya Murtikanti, Nova Ruth x Rollfast dan Rani Jambak.
Konsep bermusik Rani dalam karya terbarunya ini merupakan rangkuman suara-suara yang dikumpulkannya dalam proses "merantau". Rani menemukan kesadaran dirinya sebagai orang Minangkabau yang lahir di rantau, di Sumatera Utara. Dan ketika Rani berkeliling daerah berburu merekam suara-suara, ia benar-benar menghayatinya sebagai sebuah proses perjalanannya di perantauan.
Rani merasa bahwa perantauannya belum selesai, bahkan mungkin masih panjang. Perjalanannya merekam bebunyian khas ke berbagai daerah di penjuru nusantara masih merupakan sebuah proses yang tetap akan terus berlanjut, karena itulah ia menyematkan kata-kata "in progress" dalam judul karyanya: Merantau (in Progress).
Creative Soundscape
Creative soundscape menjadi jalur berkarya yang dipilih Rani. Ia berburu merekam suara-suara dari alam, suara orang berbicara, suara aktivitas budaya, suara lantunan doa, sampai suara keseharian yang ada di lingkungan masyarakat. Rekaman-rekaman suara asli ini diolahnya dengan teknologi musik digital dan diaransemennya menjadi sebuah komposisi sepanjang 12 menit.
Pengertian soundscapes sendiri merupakan suara apapun yang ada di sebuah wilayah yang dapat didengar oleh manusia. Studi mengenai soundscapes pertama kali dipopulerkan oleh Murray Schafer sekitar tahun 1960an.
Sementara "Creative Soundscape" adalah istilah yang digunakan Rani untuk mendeskripsikan bahwa dalam karyanya ia tidak melulu menggunakan suara-suara asli, tapi sebagian juga diolahnya dengan teknologi digital, seperti teknik sampling yang mengolah suara menjadi suara instrumen baru, bisa berupa melodis atau perkusif. Selain itu Rani mengeksplorasi bunyi dengan berbagai proses teknis melalui software, dengan penambahan beragam reverb, delay, ambience, perubahan EQ, dll.
Merantau
Dalam karya barunya ini, Rani Jambak merekam suara-suara yang berasal tujuh provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara (Kota Medan dan Bukit Lawang Kabupaten Langkat), Sumatera Barat (Pariaman, Tabek Patah, Payakumbuh, Bukit Tinggi, Padang) Daerah Istimewa Yogyakarta (Jogja), Jawa Tengah (Solo), DKI Jakarta (Jakarta), Bali dan Nusa Tenggara Barat (Pulau Lombok).
Baginya, perjalanannya mengejar dan merekam suara-suara khas nusantara ini merupakan proses perantauannya. Semenjak tahun 2015 Rani "terpanggil" untuk merantau, saat ia memutuskan untuk mengambil studi S-2 di Jurusan Creative Industry, Department of Media, Music, Communication and Cultural Studies, Faculty of Art, Macquarie University, Sydney, Australia.
Sekembalinya ke tanah air, ia makin menjadi-jadi. Merantau merupakan budaya Minangkabau. Maka ia menghayati proses perjalanan bermusiknya adalah sebagai sebuah perantauan untuk ia dapat mencari dan menemukan ke-Minangkabau-an yang ada di dalam dirinya, makna hidup, dan sebuah pencarian spiritualitas.
Kata-kata "nomaden, mengembara, hijrah, dan merantau", menjadi bagian penting dari proses perjalanan Rani ke dalam dirinya sendiri. Baik dalam konteks perjalanan fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, maupun dalam ranah yang lebih luas dalam hal pengalaman, pemikiran, dan eksplorasi. Bagi Rani, perantau akan menemukan berbagai hal baru, pembelajaran baru, dan nilai-nilai baru yang tidak ditemukannya dalam keseharian sebelumnya.
Bahkan menurutnya, saat ia pulang ke rumah orang tuanya di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, ternyata Rani merasa dirinya masih belum di rumah, masih dalam sebuah perjalanan. Memorinya penuh dengan puzzle-puzzle perjalanan yang telah dilewatinya, bahkan dengan visualisasi perjalanannya di masa depan.
Dalam refleksinya, Rani menemukan pemahaman atas dirinya dan segala perjalanan serta pengalaman spiritual yang dirasakannya. Keterkaitannya dengan leluhur, dan bagaimana ia berpikir tentang masa depan, di mana kehidupan adalah sebuah proses rotasi. Itulah kenapa manusia perlu berproses dan terkoneksi dengan leluhurnya, karena suatu saat mereka yang hidup pada saat ini juga akan jadi leluhur bagi masa depan. Inilah konsep future ancestor, sebuah tematik besar yang selalu Rani kampanyekan di sosial media.
Human is Nothing and Beyond
Dalam perburuan suara yang dilakukannya, Rani banyak menemukan, memahami, dan memaknai perbedaan serta keindahan dari perbedaan itu sendiri. Orang sering berkonflik atas nama perbedaan, tapi sebenarnya dari perspektif yang lain, justru perbedaan itu adalah bukti dari keindahan Tuhan.
Karya Merantau (in Progress) bagi Rani merupakan rangkuman dan kesimpulan yang ia temukan dari perjalanan perantauannya. Sifat tunggal Tuhan dan ke-esa-an-Nya, Rani temukan dalam berbagai keyakinan di nusantara.
Pemahaman-pemahaman spiritualitas yang ada di berbagai daerah di nusantara, yang berkorelasi dengan agama-agama yang masuk ke tanah air, sebenarnya menggambarkan bagaimana keterkaitan manusia nusantara dengan alam dan dengan leluhurnya. Semuanya berada dalam sebuah sistem besar yang terintegrasi, di mana manusia hanya satu titik kecil di situ.
Menurut Rani, human is nothing and beyond. Manusia itu bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya, tapi manusia itu juga tidak terbatas dan mampu menembus batas dimensi ruang, waktu, dan pemikiran. Tapi ketiadaan dan penembusan batas itu bukan karena kita, melainkan karena kekuatan di luar diri kita, yaitu Tuhan yang Esa, yang dipuja, dipanggil, dan disebut dengan berbagai nama.
Rani menggarisbawahi sebuah statement interviewnya dengan seorang budayawan Bali, Arya Wiguna, bahwa Tuhan adalah hukum alam itu sendiri, dan manusia adalah replika dari alam semesta ini. Maka kita sangat terhubung dengan air, dengan udara, dengan manusia lainnya, dan dengan apapun di sekitar kita.
Sumber Suara
Selain dengan Arya Wiguna, Rani juga melakukan interview dengan beberapa budayawan dan sastrawan Minangkabau yaitu Mak Kari, Ibrahim Ilyas, dan Engku Syntal. Sebagian rekaman interview-interview tersebut diolahnya dan dijadikannya sebagai bagian dari karya komposisinya.
Suara-suara lain yang direkam dan menjadi sumber suara bagi karyanya antara lain adalah nyanyian atau senandung doa yang direkamnya pada saat perayaan Hari Raya Galungan pada sebuah pura di Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Gianyar Bali, dan suara dari kegiatan ritual yang direkamnya dalam perayaan Hari Raya Kuningan di Pura Tabanan, Bali.
Di Lombok, Rani merekam suara dari sebuah kegiatan kenduri budaya, berupa pembacaan naskah daun lontar dan kitab kuno berusia ratusan tahun, di Desa Midang, Gunungsari, Lombok Barat. Naskah-naskah kuno tentang cerita awal masuknya agama Islam di Lombok ini dibacakan oleh pemuka dan tetua adat yang berasal dari berbagai daerah di penjuru Lombok
Selain itu Rani juga mendapatkan rekaman berbagai suara alam dan satwa liar, dari perburuannya di Bukit Lawang, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Bukit Lawang sering menjadi lokus eksplorasi bagi Rani untuk membuat karya-karyanya yang bertema konservasi lingkungan hidup, khususnya dalam kampanye pelestarian orang hutan.
Rani juga mendapatkan beberapa sumber bunyi dari suara-suara urban, seperti suara aktivitas jual beli di Pasar Gedhe Solo, di pasar dekat Malioboro Jogja, dan di Pajak (Pasar) Sambu Kota Medan. Di Jakarta, Rani merekam suara dari lokasi sekitar apartemen di tengah hiruk pikuknya metropolitan.
Di akhir komposisinya, Rani memasukkan rekaman suaranya sendiri saat berada di Tanah Lot, Bali. Suaranya yang sedang bersenandung dan tiba-tiba berubah menjadi isak tangis. Tangis spontan yang terjadi karena rasa haru, bahagia, dan takjub atas proses bagaimana semesta "memperjalankannya" dan memberikan berbagai pengalaman serta value yang sangat berarti dalam pencariannya.
Warna-warni suara yang ditemukan Rani dalam perjalanan perantauannya, direkamnya, dan dikoleksinya, selain sebagai bahan berkarya, juga sebagai sebuah upayanya untuk mendokumentasikan suara-suara khas lokal, yang bisa jadi suatu saat akan hilang, seiring dengan berubahnya lingkungan, budaya dan aktivitas masyarakat setempat.
Komposer dan Ekspresi
Perjalanan Rani masih panjang. Saat ini berbagai kegiatan telah menunggunya, sebagai bagian dari proses "perantauan"-nya. Beberapa agenda Rani di bulan ini sampai beberapa waktu ke depan, antara lain: Tao Silalahi Art Festival diselenggarakan oleh Rumah Karya Indonesia (6 November 2021), Pekan Komponis Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta (7 November 2021), Kemah Seniman 2021 di Payakumbuh (11-13 November 2021), Mutual Mentorship for Musician (sedang berlangsung s/d Januari 2022), Indonesia - Taiwan Residency oleh Open Contemporary Art Centre Taiwan (sedang berlangsung s/d Februari 2022), dan Workshop Common Tonalities oleh Nusasonic, Goethe Institut (November s/d Februari 2022).
Khusus untuk kegiatan Pekan Komponis Indonesia, bagi Rani, saat ia mendapatkan undangan untuk menjadi salah satu pengisi acara di program tersebut, ia sebenarnya merasa berat untuk menyandang beban sebagai komposer, dan sebetulnya ia merasa dirinya belum sanggup. Dia pun bertanya pada dirinya sendiri apakah ia sudah layak dianggap sebagai komposer.
Bagi Rani, dalam membuat karya dan bermain musik, sebenarnya ia bukan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai komponis atau komposer. Rani selama ini hanya menikmati bagaimana ia berproses melalui musik. Bagi Rani menciptakan karya atau bermusik adalah bagian dari ekspresinya, sekaligus menjadi rangkuman episode-episode perjalanan panjang perantauan dan pencarian seorang Rani Jambak ke semesta di dalam dirinya sendiri.
Hal ini dituangkannya dalam kalimat-kalimat puitik yang ditulisnya sebagai sebuah rumusan proses refleksinya sebelum ia mengolah dan meng-aransemen beraneka rekaman suara dalam karya Merantau (in Progress).
Merantau (in progress)
My musical journey, is my spiritual journey.
I was thinking about nomad people. Then what about now?
I travel to understand the nomad in the different perspective. Learning new things
and understand the differences and the magic of this life.
I am home now, but I feel like something in me still going somewhere. Still looking
for something, and at the same time, feel like Déjà Vu. Everything in my mind is full
of puzzle memories and future?
I feel like, we human, are timeless. From different dimension, from no dimension.
We are nothing and beyond.
Rani Jambak
October, 2021