Glasgow, Gatra.com - Kemarin siang waktu setempat, lelaki 58 tahun itu bertandang ke Paviliun Indonesia di komplek helat UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) Glasgow, Scotlandia.
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman ini kemudian cerita soal apa yang sedang terjadi di Eropa terkait hutan.
"Eropa memang sudah mengganti sumber energinya dari batubara ke arang. Tapi anehnya, sumber bahan baku arang itu didapat dari menebang pohon," cerita Arif Havas Oegroseno.
Gara-gara peralihan itu, penebangan hutan di Eropa katanya meningkat hingga 69%. Swedia menjadi yang paling banya; 29%, Finlandia 22%, Polandia 9%, Perancis 6%, Latvia, Jerman, dan Spanyol masing-masing 4%.
"Bagi mereka, menebang pohon mereka sebut harvest. Sementara kalau kita yang menebang pohon, dibilang deforestasi. Kan jadi aneh ini, soal ini perlu dibahas di tingkat global lah," katanya.
Keanehan lain kata Presiden Konferensi Hukum Laut Internasional PBB 2010–2011 ini, di Eropa, gambut malah dikeringkan untuk pertanian. "Petani yang mengeringkan gambut mendapat subsidi," terangnya.
Di Indonesia kata lelaki yang jamak disapa Havas ini, deforestasi justru menurun sangat tajam. Indonesia juga sudah berhasil merevitalisasi gambut hingga 2 juta hektar dan melakukan pembasahan gambut hingga 600 ribu hektar. "Ini data dan fakta lho," ujarnya.
Sebelum Havas, adalah Manager Global Group Meisei, Mizuho Iesaka yang bertandang ke Paviliun RI itu. Di sana dia bertemu dengan penanggungjawab Paviliun yang juga Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Achmad Maulizal.
Kepada Mauli, Mizuho bilang perusahaan raksasa penginderaan dan komunikasi yang berkantor pusat di Jepang itu berniat membantu Indonesia untuk mengejar komitmen global --- peningkatan suhu bumi tidak melebihi 2 derajat selsius.
Mauli tidak langsung menjawab omongan Mizuho itu, namun justru bercerita gimana peran besar kelapa sawit Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Sawit itu mampu menyerap karbon 65,4 ton per hektar dan menghasilkan oksigen 18,7 ton per hektar per tahun lho, mestinya dunia mengakui ini. Sebab ini hasil penelitian ahli, dari Amerika pula," kata Mauli.
Mendengar omongan Mauli tadi, Mizuho nampak kaget namun langsung mengalihkan perhatiannya ke pajangan informasi seputar kelapa sawit yang ada di Paviliun itu. "Saya senang datang ke sini, penuh dengan informasi," katanya.
Kalau bahasa harvest maupun deforestasi akan dipersoalkan kata Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, Eropa pasti akan berkelit, apalagi kalau dituduh melakukan deforestasi.
Sebab bagi mereka (Eropa) kata lelaki 75 tahun ini, menebang hutan untuk kebutuhan hidup dan penempatan pertambahan penduduk, sah-sah saja.
"Sekitar tahun 1975-1980, Indonesia memang sangat aktif menebang hutan untuk indutri log dan plywood, lalu disetop," cerita Sahat seperti dilansir elaeis.co, jelang siang tadi.
Cukup lama kata ayah tiga anak ini bekas tebangan itu terbengkalai. Menengok itu, belakangan, Hasrul Harahap, penggagas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang waktu itu menjabat Menteri Muda Pertanian dan Kehutanan (Menmud) mengusulkan supaya lahan terlantar itu ditanami.
"Pohon kelapa sawit yang berdaun lebar dan dikenal mampu menyerap CO2 dan menghasilkan Oksigen lebih banyak dari pada hutan primer, menjadi pilihan," ujar ayah tiga anak ini.
Sekitar tahun 1977, dimulailah program penanaman kelapa sawit oleh para petani, transmigran dan bekas tentara yang kembali dari Timor Timur.
"Itulah mulainya rakyat, petani, masyarakat luas diberi kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang baik melalui tanaman sawit," katanya.
Jadi, kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini, Indonesia aktif menanami hutan yang sudah tandus untuk menghasilkan oksigen dan minyak nabati, bukan menghasilkan arang.