Home Gaya Hidup Pasang Surut Batik Bakaran sejak Era Majapahit

Pasang Surut Batik Bakaran sejak Era Majapahit

Pati, Gatra.com – Pesona batik tulis bakaran dari wilayah Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, memang tak pernah pudar. Terlebih batik khas kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani ini, telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun ini. 

Meski begitu, tak banyak yang tahu awal kemunculan batik berciri khas garis-garis halus pada setiap motifnya ini, atau oleh perajin biasa disebut remekan.

Perajin batik tulis bakaran generasi V, Bukhari Wiryo Satmoko, mengatakan, berdasarkan budaya yang dituturkan secara turun-temurun, batik bakaran pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-15, pada masa Majapahit. 

Walau telah ada sejak era Majapahit, ia menyebut, kepopuleran batik tulis bakaran sempat meredup dan bahkan nyaris punah pada tahun 1960 lantaran turunnya minat masyarakat pada pakaian bermotif batik. Sehingga jumlah perajin batik bakaran pun menyusut drastis saat itu.

"Perajin batik Bakaran yang pertama itu Nyai Danowati, beliau dahulu adalah abdi ndalem Kerajaan Majapahit. Tugasnya membuat seragam bagi prajurit Majapahit, sekaligus bertugas menjaga gudang pusaka kerajaan," ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (5/11).

Lantaran tidak nyaman dengan agama baru yang mulai berkembang di lingkungan kerajaan, lanjut dia, Nyai Danowati pun memilih untuk berkelana dan memilih mundur dari bagian dari istana. 

"Beliau berjalan ke arah barat dengan cara menyusuri Pantai Utara. Sampai tiba di wilayah Juwana yang kala itu masih berupa hutan belantara, beliau memutuskan untuk bermukim," ungkapnya. 

Bukhari bercerita, sedikit demi sedikit Nyai Danowati pun mulai menata rumah barunya tersebut dengan memanfaatkan apa pun yang telah disediakan oleh alam. Baik itu fondasi rumah maupun peralatan dapur semuanya diambil dari kayu di hutan tempatnya bermukim. 

"Saat membakar kayu untuk memasak dan menghangatkan badan, ternyata abu pembakaran melayang sangat jauh. Dan tempat jatuhnya abu tersebut oleh Nyai Danowati dijadikan batas desa yang kini dikenal sebagai Desa Bakaran Wetan dan Kulon. Lambat laun, wilayah tersebut menjadi permukiman para pendatang," ungkapnya. 

Meski telah melepaskan diri dari ingar-bingar urusan Kerajaan Majapahit, Nyai Danowati tak bisa lepas dari rutinitasnya membuat batik. Hingga banyak pendatang di perkampungan baru itu yang turut mengikuti aktivitas pendiri desa itu. 

"Motif pertama yang dibuat oleh Nyai Banowati adalah Gandrung. Setelah itu, juga mengembangkan motif dari Majapahit, seperti Padas Gempal, Bergat Rreng, dan Limaran. Setiap motif mempunyai cerita dan penggunannya tersendiri. Seperti motif Bergat Ireng, biasanya digunakan saat takziah," imbuh Bukhari. 

Kasi Cagar Budaya dan Tradisi Sejarah pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pati, Trevita Puspita Hadi, mengatakan, masyarakat Pati harus berbangga hati karena batik tulis bakaran telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2021.

"Kita telah usulkan sejak 2020 untuk batik bakaran ini. Prosesnya cukup panjang, mulai dari proses seleksi administrasi, rapat usulan, verifikasi usulan, pemaparan usulan, dan terakhir sidang penetapan pada tanggal 26-30 Oktober 2021 di Jakarta. Kita tunjukkan data-data dari kajian akademis dan data dukung lainnya," ungkap dia. 

Selain batik tulis bakaran, Puspita menyebut di Kabupaten Pati sudah memiliki warisan budaya lainnya yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian, yaitu tradisi Meron dan Wayang Topeng Kedung Panjang.

1285