Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia meminta pemerintah dan DPR membuka mata soal banyaknya sengkarut atau kasus tanah ulayat atau adat di berbagai wilayah.
Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Laksanto Utomo, di Jakarta, Senin (4/11), menyampaikan, pihaknya mempunyai catatan kasus tanah ulayat atau adat berdasarkan laporan dari perwakilan APHA Indonesia, mulai dari wilayah barat hingga timur.
Di wilayah Indonesia Barat, lanjut Laksanto, di antaranya terjadi pembalakan yang dilakukan oleh orang di luar masyarakat adat di Desa Aek Godang, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut).
“Ada juga beberapa kasus tanah ulayat di Sumatera Barat yang berujung kriminalisasi yang saat ini sedang didampingi oleh LBH [Lembaga Bantuan Hukum],” ujarnya.
Sedangkan dari catatan atau perwakilan APHA Indonesia Timur, kata Laksanto, di antara kasus tanah ulayat Masyarakat Adat Togutil di Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut).
Hal serupa juga terjadi di wilayah lainya, yakni pembangunan pariwisata di sekitar Semeru Tengger dan Bromo yang mengusik Masyarakat Adat Tengger. Beberapa kasus di Kalimantan yang menimpa Panglima Anseng, suku Dayak yang menuntut pelecehan adat Dayak karena pembongkaran portal adat.
Menurut Laksanto, kasus tanah ulayat adalah muara dari permasalahan karena pengelola administrasi oleh ATR/BPN yang ambigu dalam mengambil tindakan akibat ketidakpastian dalam mengambil keputusan dan tidak melibatkan masyarakat adat, serta tidak jelasnya mana yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Agar masalah di atas dapat diatasi, maka payung hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat hukum adat agar kiranya menyegerakan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang mana pada Prolegnas 2021 menjadi urutan ke-19,” ujarnya.
Laksanto mengungkapkan, Fraksi Partai NasDem yang berkomiten untuk segera mengesahkan RUU MHA tidak mendapat sambutan baik dari partai besar lainnya, seperti Golkar dan PDI-Perjuangan.
“Penilaian Parlemen Watch terhadap kinerja DPR sampai akhir tahun 2021 patut dipertanyakan. Dari 33 RUU hanya beberapa gelintir yang disahkan. Hal ini sangat mengecewakan,” tandasnya.
Atas dasa itu, APHA Indonesia meminta para wakil rakyat saat masa reses akhir tahun 2021 ini bisa memotret persoalan tersebut ketika turun atau mengunjungi daerah pemilihan (Dapil)-nya masing-masing dan berkomitmen untuk segera membahas dan mengesahkan RUU MHA.
“Agar kiranya menjadi skala prioritas dalam mengambil keputusan untuk segera mengesahkan RUU MHA,” tandasnya.
APHA Indonesia yakin bahwa pengesahan RUU MHA menjadi UU mempunyai manfaat yang sangat besar, khususnya dalam melindungi masyarakat adat sekaligus memberikan kepercayaan, mengembalikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengelola, menjaga, dan melestarikan tanahnya sesuai kearifan lokal yang telah dimiliki secara turun temurun.