Semarang, Gatra.com – Warga pemilik tambak Kelurahan Terboyo Kulon, Terboyo Wetan dan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, terkena proyek jalan tol Semarang–Demak menolak penetapan tanah musnah.
Penolakan warga dengan membentangkan spaduk bertuliskan “Kami Warga Pemilik Tambak di Wilayah Semarang Menolak Penepatan Sebagai Tanah Musnah dan Ganti Rugi Talih Asih yang akan Terkena Jalan Tol Semarang-Demak”.
Panitia Pembebasan Tanah (P2T) jalan tol Semarang-Demak menetapkan puluhan hektare lahan tambak milik warga dinyatakan sebagai tanah musnah, sehingga tidak mendapatkan ganti rugi.
“Kami menolak penetapan sebagai tanah musnah, karena puluhan hektare yang terdampak jalan tol Semarang-Demak masih difungsikan untuk budidaya ikan bandeng, kerang, dan udang,” kata salah seorang pemilik tambak, Ngatino, usai rapat warga pemilik tambak di Rumah Apung, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, Rabu (3/11).
Menurutnya, kalau dianggap musnah tidak benar karena ketika ada proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) dua tahun lalu, dengan tanah dan objek pajak yang sama, itu dihargai dengan layak.
“Tetapi kenapa pada proyek tol Semarang-Demak ini, tambak kami dianggap tanah musnah,” ujarnya.
Total luas tambak yang terdampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak dan belum mendapat ganti rugi ada sekitar 65 hektare milik 10 warga.
Jumlah tersebut tersebar di tiga kelurahan, yaitu Terboyo Kulon, Terboyo Wetan, dan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Dengan dianggap sebagai tanah musnah, maka warga hanya akan mendapat tali asih yang besarannya masih jauh dari ganti rugi yang layak.
“Harapan kami tim P2T jalan tol Semarang-Demak, tetap mencantumkan tambak kami sebagai tanah terdampak sehingga bisa mendapat penggantian yang layak melalui appraisal, bukan sekadar tali asih,” ujar Ngatino.
Warga pemilik lahan tambak lainnya, Joko S menambahkan, sampai sekarang warga masih melakukan budi daya dan membayar pajak tahunan.
Oleh karenanya, Joko menolak penetapan tanah musnah atau tali asih sebagai ganti rugi yang nilainya merugikan pemilik tanah.
“Kami meminta ganti rugi yang layak berdasarkan appraisal. Secara yuridis, tanah kami tanah yang sah, setiap tahunnya membayar pajak,” katanya.
Untuk ditetapkan sebagai tanah terdampak jalan tol, syaratnya di antaranya tambak harus 90% berupa air dan 10% batas, bisa berupa tanah atau pembatas lainnya.
“Faktanya, tambak kami 90% air. Sampai sekarang masih kami budidayakan baik bandeng, kerang atau udang. Jadi tambak kami masih bisa diidentifikasi. Pernah dilakukan pengukuran oleh BPN Kota Semarang, dan tidak ada perselisihan,” kata Joko.
Sementara itu, kuasa hukum warga pemilik tambak, Agus Wijayanto, meminta, tim P2T harus hati-hati dan teliti untuk menentukan tanah mana saja yang masuk kategori tanah musnah.
Menurut Agus, dalam Peraturan Menteri Agraria, yang dimaksud tanah musnah jika memenuhi tiga kriteria, yang paling utama bahwa tanah atau tambak sudah berubah bentuk sehingga sudah tidak bisa diidentifikasi.
“Padahal tanah tambak warga masih bisa diidentifikasi karena pembatasnya masih ada. Bisa dengan tanah atau bambu dan lainnya,” katanya.
“Kami semua akan mempertahankan agar tambak milik warga tidak dikategorikan menjadi tanah musnah. Tidak menutup kemungkinan, akan melakukan langkah hukum untuk mempertahankan hak warga,” ujar Agus.