Jakarta, Gatra.com – Selama pekan-pekan Halloween ini layar lebar dipenuhi dengan mayoritas genre horor yang nyaris semuanya menampilkan warna suram diiringi cerita kelam yang dialami para tokoh utamanya. Kilatan warna neon dan hentakan asik musik 60-an bukanlah indikator yang lazim muncul di sebuah film horor. Film terbaru Edgar Wright, Last Night in Soho hadir menyajikan cerita manis nan optimis yang berubah drastis menjadi pengalaman mistis nan misterius.
Eloise Turner (Thomasin McKenzie) tengah bahagia karena dia sukses diterima pada studi fashion design di London College of Fashion. Meninggalkan sang nenek sendirian di kampung halamannya di Suffolk, dara tersebut ternyata tak siap ketika dihadapkan dengan hingar bingar asrama barunya di ibukota. Dia pun memutuskan untuk pindah dan mengontrak sebuah kamar di lantai atas rumah milik Nyonya Collins (Diana Rigg).
Eloise – yang lebih suka dipanggil Elly – ternyata punya rahasia. Dia bisa melihat hantu ibunya yang meninggal bunuh diri ketika Eloise masih berusia tujuh tahun. Tak disangka ‘kemampuan’ itu malah berkembang makin kompleks saat dia menempati kontrakan baru tersebut. Setiap malam saat tidur, dia ‘terlempar’ ke tahun 1960-an, dan ‘hidup’ dalam sosok Sandie (Anya Taylor-Joy). Sandie, yang bernama asli Alexandra, adalah gadis pirang yang bercita-cita menjadi penyanyi terkenal.
Dimulailah perjalanan waktu Elly di masa yang menjadi favoritnya yaitu era 60-an. Sebagai Sandie, dia meresapi impian ambisius tersebut. Termasuk ketika Sandie berhubungan dengan agen artis, Jack (Matt Smith), Elly ikut merasakan drama hubungan mereka yang ternyata berujung tragis.
Semuanya berubah ketika Elly menyaksikan Sandie ditikam berkali-kali. Yakin bahwa pembunuhan sadis telah terjadi, dia memutuskan melapor ke polisi, juga melakukan riset mencari berita soal aksi kriminal itu. Elly yakin bahwa pelakunya masih hidup yaitu pria tua (Terence Stamp) yang kerap muncul di bar tempat Elly bekerja yang berlokasi di area Soho, dan terletak di pusat Kota London.
Adegan di bar adalah salah satu ciri khas Edgar Wright. Bukan hanya scene pendek, tapi menjadi setting penting dalam hampir semua filmnya. Ciri khas lainnya adalah dialog yang berulang. Pada Last Night in Soho, momen ketika Sandie berhadapan dengan rentetan pria hidung belang menjadi petunjuk penting menuju twist ending film berdurasi 116 menit tersebut.
Hubungan ketiga tokoh utamanya pun terjalin dengan pas. Anya Taylor-Joy yang sedang naik daun sekali lagi membuktikan kemampuan aktingnya yang di atas rata-rata. Sementara, Thomasin McKenzie, yang lebih muda empat tahun dari Taylor-Joy, telah teruji lewat Leave No Trace (2018) dan Jojo Rabbit (2019). Matt Smith sendiri bisa saja identik dengan tokoh nerd Doctor Who, tapi dia juga menunjukkan kalau ia tak kalah piawai bermain drama lewat perannya sebagai Pangeran Philip muda di The Crown.
Film Last Night in Soho adalah perjalanan sinematik yang indah sekaligus menegangkan. Warna merah-biru neon yang di awal memberikan nuansa muda dan energik, seiring durasi film berjalan berubah menjadi kesan misterius sejalan cerita yang makin intens.
Penggunaan cermin di banyak titik, dimanfaatkan secara maksimal oleh Chung-hoon Chung. Cermin tak hanya menunjukkan relasi yang dimiliki Elly dengan Sandie, tapi juga bisa dibaca sebagai simbol rapuhnya kekuatan perempuan menghadapi tekanan maskulinitas. Setelah menggarap Stoker (2013) dan It (2017), sinematografer kelahiran Seoul itu tahu persis menampilkan sudut-sudut indah seorang perempuan sekaligus titik-titik menyeramkan dari satu ruang terbatas.
Kualitas penyutradaraan Edgar Wright sendiri pun sudah terbukti oleh waktu. Trilogi Three Flavours Cornetto (Shaun of the Dead (2004), Hot Fuzz (2007), dan The World's End (2013)) miliknya membuktikan bahwa genre bertolak belakang semacam horor bisa disandingkan dengan komedi. Apalagi horor psikologis seperti Last Night in Soho, tentu bukan perkara sulit bagi pria kelahiran Dorset, Inggris tersebut. Scott Pilgrim vs. the World (2010) miliknya juga menuai banyak pujian dari sesama sutradara. Film panjang terakhirnya, Baby Driver (2017) meraih BAFTA Film Award dan masuk sejumlah nominasi di Oscar.
Last Night in Soho tayang perdana di Venice Film Festival pada awal September lalu. Tadinya film ini dijadwalkan diputar pada September 2020, tapi mundur ke Oktober 2021 akibat pandemi.
“Kami sengaja memundurkan jadwal pemutaran film ini ke musim gugur. Bukan semata agar film ini bisa dinikmati di layar lebar, tapi juga ini adalah masa ketika malam menjadi lebih panjang, sehingga para penonton bisa merasakan sensasi dingin yang harafiah,” ujar Wright.
Petualangan menegangkan Elly memang menjadi pengalaman tak terlupakan. Para penggemar genre horor akan menyukai film ini karena menampilkan cerita yang fresh. Sementara bagi yang tidak suka kengerian klasik horor, tetap bisa menonton visual indah dan beat-beat musiknya.
Judul “Last Night in Soho” sendiri diambil langsung dari lagu berjudul sama milik Dave Dee, Dozy, Beaky, Mick & Tich yang rilis pada 1988. Wright dan rekan penulis skenarionya, Krysty Wilson-Cairns menulis naskah yang disesuaikan dengan nuansa musik 60-an. Di tangan komposer Steven Price, hasil akhirnya adalah paduan apik antara audio dan visual.
Sayangnya, film ini adalah penampilan terakhir Diana Rigg (yang meninggal pada 10 September 2020) dan Margaret Nolan yang memerankan bos Elly di bar (meninggal pada 5 Oktober 2020). Keduanya merupakan aktris ternama pada era 60-an.
Film ini sudah diputar di bioskop Inggris sejak 29 Oktober lalu. Seluruh penonton bioskop Indonesia bisa menyaksikannya mulai 3 November.