Jakarta, Gatra.com – Jatendra Hutabarat, kuasa hukum David Susanto (DS) mengatakan, penetapan status tersangka kliennya oleh pihak kepolisian dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan penggelapan dalam jabatan adalah janggal.
“Terdapat berbagai kejanggalan dalam proses penangkapan, penetapan tersangka, dan penahanan terhadap DS,” kata Jatendra melalui siaran pers pada Senin (1/11).
Ia lantas membeberkan kronologi kasus yang ditudingkan kepada kliennya. Menurutnya, DS merupakan mantan karyawan yang sudah bekerja kurang lebih 7 tahun di PT DIM. Dia ditangkap dan Polsek Balaraja, Kabupaten Tangerang, pada 17 September 2021 pukul 02.00 dini hari.
Menurutnya, pada 17 September 2021, sekitar pukul 02.00 WIB, rumah DS yang beralamat di Perum Batutulis Residence, Bogor, didatangi oleh 5 orang anggota dari Polsek Balaraja, yang kemudian menyatakan DS terlibat kasus penipuan, penggelapan, dan penggelapan dalam jabatan.
Setelah itu, sekitar pukul 05.30 WIB, penyidik mulai melakukan pemeriksaan kepada DS sebagai tersangka tanpa didampingi penasihat hukum. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, DS akhirnya mengetahui bahwa dugaan tindak pidana yang dikenakan kepadanya adalah sehubungan dengan pinjaman sebesar Rp20 juta.
Menurut Jatendra, DS meminjam uang tersebut kepada Rhesa Davy Subrata, atasannya di PT DIM, pada tanggal 30 Mei 2021. “Dalam bukti transfer dari Rhesa Davy Subrata kepada DS tertulis 'pinjaman ke ofc, cicilan 1jt',” ungkpnya.
Dalam proses pemeriksaan, lanjut Jatendra, DS menjelaskan kenapa tidak pernah mencicil pinjaman tersebut, yakni dikarenakan Rhesa menyatakan pinjaman tersebut tidak perlu dikembalikan. “Terbukti dari tidak pernah dipotongnya gaji DS setelah menerima uang tersebut,” ujarnya.
Setelah DS selesai menjalani pemeriksaan, pukul 22.00 WIB, penyidik meminta DS untuk menandatangani Berita Acara Penangkapan dan Penahanan. Dalam Berita Acara Penangkapan tertulis “Pada hari ini Jumat, tanggal 17 bulan September tahun 2021 jam 04.30”.
“Sedangkan dalam Berita Acara Penahanan tertulis 'Pada hari ini, Sabtu tanggal 18, bulan September tahun 2021 jam 04.30,” ungkapnya.
Adapun perkara yang disangkakan kepada DS adalah Pasal 378, 374, dan 372 KUHP berdasarkan Laporan Polisi yang dibuat pada tanggal 17 September 2021, namun pada 17 September 2021 sekitar jam 02.00 pagi, DS sudah dibawa ke Polsek Balaraja, ditangkap, dan kemudian diperiksa sebagai tersangka tanpa pernah sebelumnya dipanggil dan diperiksa sebagai saksi.
“Melihat tanggal Laporan Polisi yang baru dilakukan pada tanggal 17 September 2021, sedangkan pada sekitar jam 02.00 pagi polisi dari Polsek Balaraja sudah tiba di rumah DS untuk menangkap DS,” ujarnya.
Jantendra mengatakan, hal tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan, yakni pada jam berapa laporan polisi tersebut dibuat? Apakah saksi pelapor dan saksi lainnya terkait perkara ini sudah diperiksa sebelum menetapkan tersangka dan menangkap DS? Kalaupun sudah diperiksa, pada pukul berapa saksi pelapor dan saksi lainnya diperiksa?
Pertanyaan selanjutnya, kata Jatendra, apakah sudah dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) mengingat perkara ini bukanlah kejahatan tangkap tangan. Kapan dilakukan gelar perkara dari tingkat penyelidikan menjadi tingkat penyidikan? Kapan dilakukan gelar untuk meningkatkan status tersangka terhadap DS?
“Apakah dalam waktu sesingkat itu penyidik bisa melakukan pemeriksaan saksi pelapor, melakukan penyelidikan, melakukan gelar perkara dari tingkat penyelidikan menjadi penyidikan, menerbitkan Surat Perintah Penyidikan, dan melakukan gelar perkara penetapan tersangka terhadap DS?” katanya.
Atas dasar itu, lanjut Jatendra, kalaupun apa yang dilakukan kliennya itu sebagai tindak pidana, maka Polsek Balaraja lebih mengedepankan restorative justice dan menciptakan perdamaian antara pihak, apalagi melihat jumlah “kerugian” sebesar Rp20 juta, bukankah akan lebih baik dikedepankan opsi perdamaian para pihak.
Restorative justice di Kepolisian bukanlah hal baru. Surat Edaran Kapolri No. 8 Tahun 2018 adalah dasar bagi Kepolisian untuk mengedepankan restorative justice, perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan masyarakat, terutama berkembangnya prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang merefleksikan keadilan sebagai bentuk keseimbangan hidup manusia.
Perkembangan konsep penegakan hukum dalam sistem penegakan hukum pidana di berbagai negara yang mengadopsi prinsip keadilan restoratif (restorative justice) serta seiring dengan timbulnya berbagai permasalahan dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.
Berbagai persoalan tersebut, di antaranya lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang over capacity, tunggakan perkara yang semakin meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan perkembangan perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara dan sebagainya, membawa dampak pada perubahan kultur hukum masyarakat terutama cara pandang masyarakat Indonesia terhadap proses penegakan hukum pidana.
Menurut Jantendra, DS dan keluarganya berharap permasalahan ini dapat mengedepankan restorative justice. Pihak keluarga DS juga secara langsung sudah meyampaikan kepada penyidik siap untuk mengembalikan uang sebesar Rp20 juta tersebut.
“Bahkan, keluarga dari klien kami sudah membawa uang tersebut ke Polsek Balaraja, namun sampai dengan saat ini, penyidik tidak pernah mempertemukan klien kami dan keluarga dengan pelapor,” ungkapnya.