Yogyakarta, Gatra.com - Pengobatan herbal dan pangan fungsional digunakan sebagai pelengkap terapi Covid-19. Keanekaragaman hayati kita di tangan generasi muda menjadi potensi besar dalam riset penanganan Covid-19 dan berbagai penyakit di masa mendatang.
Hal ini terungkap dalam jumpa pers ajang 2021 Virtual Summer Course on Interprofessional Health Care, Senin (1/11), gelaran Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM).
Pakar gizi kesehatan FK-KMK UGM, Tony Arjuna, menjelaskan pangan fungsional berdampak positif pada tubuh, termasuk meningkatkan imunitas. Di masa pandemi Covid-19, riset dan pemanfaatan pangan fungsional pun makin relevan.
“Tapi kemudian banyak hoaks, seperti kejadian rebutan suatu merek susu beberapa waktu lalu. Orang membeli sebanyak-banyaknya karena dianggap bermanfaat untuk imunitas tubuh. Padahal itu harus diteliti dan ada ilmunya yang bener,” tuturnya.
Menurutnya, upaya memanfaatkan pangan lokal sebagai pangan fungsional selama ini telah dilakukan, seperti bubur tempe untuk pasien diare, umbi-umbian, ikan, dan sayur-sayuran.
Saat ini, sejumlah pangan dengan kandungan probiotik saat ini telah diberikan untuk pasien Covid-19 secara. “Ada yang diberikan untuk menggantikan mikrobiota di usus yang hilang selama terapi Covid-19. Jenis makanan untuk membantu sistem imunitas dan memberi asupan,” kata dia.
Profesor Triana Hertiani dari Fakultas Farmasi UGM menyatakan Indonesia punya keragaman hayati yang besar. Beberapa tanaman telah dikembangkan sebagai obat herbal dan berguna dalam terapi komplementer untuk Covid-19
“Ini membantu daya tahan tubuh, mengatasi batuk dan gejala-gelaja mirip flu. Beberapa herbal untuk pepengobatan secara umum, seperti jahe merah dan sambiloto yang banyak diteliti potensinya. Ini bahan komplementer untuk mengatasi dampak Covid,” tuturnya.
Namun ia mengingatkan Indonesia masih harus mengimpor bahan obat-obatan. Bukan hanya obat sintetis, obat herbal pun Indonesia masih bergantung dari luar negeri.
“Ternyata ekstrak bahan lalam kita juga impor. Obat sintetis itu 95% kita masih impor, kalau bahan baku obat herbal kita belum ada data impornya,” ujarnya.
Padahal bahan obat herbal Indonesia amat melimpah. Namun masalahnya bahan herbal cukup kompleks. Bukan hanya risetnya melainkan juga soal ketersediaan lahan hingga promosi
“Kalau bahan herbal unggulan, ginseng itu yang diingat dari Korea. Dulu kita kenal pasak bumi sekarang jadi tongkat ali dari negara tetangga,” kata dia.
Profesor Shu Yu Kuo dari Taipei Medical University, Taiwan, menambahkan, pihaknya juga terus mengembangkan bahan herbal untuk penanganan Covid-19. Namun fokus pengembangan produk herbal pada tata laksana untuk penanganan gejala pasien. Hasilnya sejauh ini, kata dia, menjanjikan.
“Western medicine masih menjadi pengobatan mainstream untuk Covid-19. Produk herbal untuk pengobatan komplemneter dan dapat menjadi pilihan untuk pasien,” tuturnya.
Bukan hanya soal Covid-19, berbagai perkembangan terapi komplementer akan dipaparkan di ajang summer course FK-KMK UGM bertema ‘Complemntary Healthcare and Functional Food’ pada 1-12 November 2021 secara daring. Acara diikuti 87 peserta Indonesia dan 64 orang dari sejumlah negara yakni Belanda, Malaysia, Australia, Bangladesh, Nepal, Pakistan, dan Cina.
Dekan FK-KMK UGM Ova Emilia menyatakan di perubahan yang tidak bisa diprediksi ini para tenaga kesehatan muda harus berlajar dari berbagai sumber, termasuk dari kearifan lokal masyarakat.
“Ajang ini semoga dapat menjadi bekal generasi muda calon tenaga kesehatan untuk memanfaatkan berbagai sumber. Belajar ilmiah bukan berarti meninggalkan local wisdom,” katanya.