Jakarta, Gatra.com – Indonesian Audit Watch (IAW) menyampaikan surat bertanya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal mengapa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya menguber aset pengganti para pengemplang Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) dan terkesan tidak menyentuh barang rampasan negara dari tindak pidana korupsi atau kejahatan lainnya.
Dalam surat yang diterima Gatra.com, pada akhir pekan ini, Ketua Pendiri IAW, Junisab Akbar, IAW memang mengapresiasi langkah Kemenkeu bersama lembaga atau kementerian terkait lainnya untuk mengembalikan dana talangan tersebut.
“Kemkeu menurunkan tim untuk memasang plang pengumuman di atas aset sitaan. Bahkan memproses hukum penyimpangan yang terjadi terhadap aset itu. Kita apresiasi langkah-langkah luar biasa tersebut, sebab kas negara memang harus dijaga,” ujarnya.
Namun demikian, Junisab mempertanyakan mengapa langkah tersebut tidak dilakukan secara simultan, dengan potensi sumber dana lain yang berasal dari rampasan negara dari kejahatan lainnya.
Agar dalam kondisi wabah penyakit menular Covid-19 ini kas negara bisa terbantu, lanjut dia, maka ideal juga jika Kemkeu mencermati dan fokus terhadap beberapa aset lainnya, di antaranya banyak aset rampasan terkait kejahatan yang dapat ditatakelolakan dalam waktu relatif cepat dan berpotensi menambah pemasukan kas negara.
“Seperti terhadap aset koruptor dan atau pelaku kejahatan lainnya. Aset-aset sitaan itu tidak baik jikalau hanya didiamkan, atau ditidurkan,” katanya.
Menurut Junisab, aset itu lebih baik didinamiskan serta bisa menghasilkan untuk kas negara jika ditata kelola secara maksimal. “Mengapa aset-aset itu tidak disentuh layaknya Kemkeu saat mengejar aset pengemplang BLBI?” tandasnya.
Ia melanjutkan, guna mendinamiskan seluruh aset sitaan itu, maka harus meninggalkan model lama birokrasi yang teramat panjang saat hendak melepaskan aset kepemilikan kepada pihak lain. Tinggalkan cara lelang seperti selama ini dan bangun model baru yang ramping, taktis, akurat, dan cepat waktu.
Menurut IAW, pihaknya optimistis bahwa kalau Kemenkeu melakukan penatakelolaan aset sitaan tersebut secara baik dan maksimal, maka bisa memberi sumbangsih yang mumpuni terhadap kas negara.
Sitaan itu, ungkap Junisab, yakni dari hasil keputusan Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 2642/K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2006 yang amar putusannya antara lain berbunyi, menghukum DL Sitorus 8 tahun dengan denda Rp5 miliar dan kebun seluas 47.000 hektare dirampas untuk negara.
“Perampasan itu karena DL Sitorus mengubah kawasan hutan lindung menjadi perkebunan dan melakukan tindak pidana korupsi (illegal logging),” ujarnya.
Junisab melanjutkan, sitaan itu berada pada hutan register 40 yang merupakan kawasan milik pemerintah dengan luas 178.000 hektare yang terletak di Desa Parsombaan, Kecamatan Lubuk Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara (Sumut).
Ia mengungkapkan, ternyata di area sisa hutan tersebut masih ada sekitar 40-an perusahaan yang berkebun menggunakan 130.000-an hektare hutan milik negara. Perlakuan hukum yang sama terhadap almarhum DL Sitorus tentu patut bisa diterapkan kepada 40-an entitas korporasi tersebut nantinya.
“Guna merealisasi putusan MA itu maka tanggal 26 Agustus 2009 Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara (Sumut) mengeksekusi putusan pidana MA Nomor 2642 dengan menyerahkan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektare kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumut,” ujarnya.
Lalu, lanjut Junisab, pada 10 Mei 2015, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengeksekusi administratif putusan MA Nomor 2642 atas DL Sitorus dan menyerahkan lahan itu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Dengan uraian tersebut di atas, terlihat jikalau Kemkeu sesegera dari awal berkoordinasi yang baik dengan Kejagung dan KLHK, maka sejak 2009 tentu negara sudah secara langsung terus-menerus menata kelolanya,” kata dia.
Namun, tandas Junisab, karena hal itu abai, maka diduga kuat pihak perusahaan yang mengelola serta menikmati hasil dari rampasan negara. Ini sangat disesalkan. Jika dihitung dengan baik, tentu prediksi minimal ditemukan angka Rp20-an triliun bisa masuk ke kas negara.
Saat ini, kata dia, apakah jumlah itu tidak akan menjadi lebih lumayan untuk membantu kas negara? Karena di atas tanah hutan milik negara yang telah dirampas dari kasus pidana tersebut ada pihak lain secara tidak sah menata kelola lahan sawit 47.000 hektare itu, sehingga yang seharusnya negara bisa mendapat Rp20-an triliun, tetapi kemudian ternyata hal itu tidak didapat.
“Apakah negara melalui Kemkeu, KLHK, dan Kejagung akan terus mengabaikan perintah dari MA RI tersebut?” tandas Junisab.
Menurutnya, jikalau pembiaran hak negara terjadi dalam kaitan kebun sawit 47.000 hektare itu, di mana lagi kewibawaan negara melalui Pemerintah? Jika itu sampai dibiarkan lagi, maka bagaimana mungkin publik akan percaya bahwa Pemerintah akan dengan baik dan benar dalam upaya menegakkan hak negara terkait BLBI.
“Kedua kasus itu, yakni lahan sawit 47.000 hektare dan BLBI setara sebab menyangkut hak negara. Maka tidak baik jika perlakuan terhadap masing-masing dilakukan secara berbeda,” ujarnya.