Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, membeberkan sebuah pandangan mengenai pembiayaan tes polymerase chain reaction (PCR) dari sudut pandang konstitusi Indonesia.
“Jadi, pada prinsipnya memandang permasalahan kesehatan itu selalu berawal dari konstitusi kita bahwa kewajiban negara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, terutama dalam situasi darurat seperti ini,” ujar Mahesa dalam sebuah diskusi publik virtual yang digelar pada Sabtu (30/10).
“Kami perlu ingatkan lagi bahwa keputusan presiden yang ditetapkan pada 2020 yang lalu tentang status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 itu belum dicabut. Artinya apa? Artinya status kedaruratan kesehatan kita masih ada pada hari ini,” sambung Mahesa.
“Dan kalau mengacu pada kondisi darurat itu diatur di dalam UU Kesehatan dan juga UU Penanggulangan Bencana dan UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa dalam situasi darurat menjadi tanggung jawab penuh dari pemerintah pusat dan daerah untuk proses penanggulangan bencana tersebut,” ujar Mahesa.
Begitu pula, kata Mahesa, pandemi Covid-19 yang tergolong sebagai bencana non-alam. Pemerintah pusat dan daerah wajib menanggung semua pembiayaan, kebutuhan sarana dan prasarana atau sumber daya, yang terkait dengan penanggulangan bencana non-alam tersebut.
Salah satu upaya penanggulangan yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan di atas adalah tindakan epidemiologis. Dalam konteks pandemi Covid-19, tindakan epidemiologis tersebut adalah 3T (testing, tracing, and treatment).
Belakangan ini, salah satu upaya testing, yaitu tes PCR, sebagai salah satu tindakan epidemiologis untuk mengetahui apakah seseorang positif terpapar Covid-19 atau tidak sebelum melakukan perjalanan udara, tengah menjadi perdebatan hangat di ruang publik.
Pasalnya, warga kerap mengeluhkan mahalnya biaya tes PCR saat hendak bepergian menaiki pesawat terbang. Tak sedikit warga yang menduga adanya permainan bisnis di balik mahalnya biaya tes tersebut.
Walau biaya tes PCR saat ini sudah jauh lebih murah dibandingkan saat pertama kali ditetapkan pada Oktober 2020 lalu, warga tak serta-merta meredakan amarahnya. Mereka justru mempertanyakan mengapa penurunan harga tersebut baru dilakukan akhir-akhir ini.
Tiga hari yang lalu, Kementerian Kesehatan telah secara resmi menurunkan harga tes PCR melalui Surat Edaran (SE) Nomor HK 02-02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
“Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali,” ujar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir, seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkes.
Biaya yang baru ditetapkan sejak tiga hari yang lalu tersebut jauh lebih murah dari yang ditetapkan pada Oktober 2020. Pada tahun lalu, biaya tes PCR dipatok di harga Rp900 ribu.
Sementara warga biasa memprotes soal mengapa penurunan biaya tes PCR baru dilakukan belakangan ini, ahli hukum lebih memperhatikan bagaimana pemerintah tak mematuhi aturan konstitusi dalam menanggulangi bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 ini.
“Jadi, dari awal kita harusnya konsisten terhadap amanah konstitusi dan UU bahwa penanggulangan itu harus ditanggung oleh pemerintah,” ujar Mahesa.
Keterbatasan anggaran negara dijadikan kambing hitam oleh pemerintah. Konon, dengan anggaran yang terbatas, biaya tes PCR tak bisa ditanggung oleh pemerintah. Namun, dengan menimbang Indonesia sebagai negara hukum dan hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, banyak pihak menilai bahwa pemerintah mau tak mau harus taat konstitusi.
Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah unsur pimpinan Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng. Ia ingin pemerintah menjadikan tes PCR sebagai barang publik. Dengan menjadi barang publik, tes PCR akan digratiskan bagi warga atau pembiayaannya ditanggung negara.
Walau tak menampik adanya menipisnya anggaran negara, Robert tetap mengingatkan bahwa pada dasarnya hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.
“Kalau bicara soal hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, dan dalam konteks pelayanan publik ini adalah barang publik, kalau kita mau bicara ekstremnya, sanggup enggak sanggup, negara harus sanggup,” tandas Robert.