Jakarta, Gatra.com– Mahalnya biaya tes PCR (polymerase chain reaction) sebagai syarat bepergian melalui jalur udara atau pesawat terbang kerap menjadi bahan komplain masyarakat. Tak sedikit warga yang menduga ada permainan bisnis di balik mahalnya biaya tes tersebut.
Walau begitu, tiga hari yang lalu, Kementerian Kesehatan telah secara resmi menurunkan harga tes PCR melalui Surat Edaran (SE) Nomor HK 02-02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
“Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali,” ujar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir, seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkes.
Akan tetapi, penurunan biaya tersebut tak serta-merta menyurutkan amarah publik. Masyarakat justru berapi-api mempertanyakan mengapa biaya tes PCR baru diturunkan belakangan ini.
Untuk menjawab keluhan publik tersebut, Sekjen Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randi Teguh, pun buka suara.
Randi mengungkapkan bahwa biaya tes PCR baru turun belakangan ini disebabkan oleh sudah semakin banyaknya pelaku usaha atau penyedia reagen PCR. Terlebih lagi, pada saat ini, situasi Covid-19 di Indonesia sudah melandai.
“Sebenernya kalau dari kami, dari alat-alat lab, pada saat pemerintah membatasi harga Rp900 ribu pada Oktober-November 2020, harga [komponen] reagen PCR itu sekitar Rp400-Rp500 ribu,” ujar Rendi dalam sebuah diskusi publik virtual pada Sabtu, (30/10/2021).
“Masih tinggi. Mengapa? Karena pada saat itu jangan lupa Covid ini penyakit baru. Produsen reagen PCR-nya masih sedikit. Pada saat itu hanya ada 5-10 merek. Dan jumlah kasusnya juga masih 1.000-2.000-an akhir tahun 2020 sehingga harganya masih tinggi,” tutur Rendi.
“Sehingga pada saat pemerintah membatasi pada harga Rp495.500, harga reagen itu sudah turun sekitar Rp200.000. Itu kenapa bisa turun? Karena saat ini jenis merek reagen PCR itu sudah ada 52,” jelas Rendi.
Rendi menekankan bahwa penurunan biaya tes PCR dari waktu ke waktu pada dasarnya telah mengikuti dinamika pasar (market). Meski begitu, ia tak menampik bahwa meski kondisi pasar telah memungkinkan biaya tes PCR turun, ternyata masih saja banyak komplain dari masyarakat mengenai tidak ekonomisnya biaya tes tersebut.
Mengenai hal ini, Randi menduga satu hal. Ia menduga ada lab-lab klinik tertentu yang sengaja tak menurunkan harga reagen PCR karena menganggap harga-harga reagen PCR terdahulu merupakan harga yang sudah ajeg dan tak bisa diturunkan seiring dengan membaiknya situasi Covid-19.
“Nah, jangan-jangan memang masalahnya ketika dibatasi Rp900 ribu, di mana sebetulnya harga barang-barang sudah turun, lab-lab klinik nggak bisa ikut turun karena mikir, ‘Oh, batasnya Rp900 ribu.’ Jadi, tetap saja Rp900 ribu. Itu yang jadi masalah jangan-jangan ya,” ujar Randi.
Harga Rp900 ribu bukannya Harga Eceran Tertinggi (HET), harga terendahnya bisa Rp275 dong?