Jakarta, Gatra.com — Dalam upaya menekan penyebaran COVID-19, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat yang terus mengalami penyesuaian. Pada awal Juli 2021, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat diberlakukan dan kemudian diubah menjadi PPKM level 4-2.
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan fokus pada perluasan perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial. Pelaksanaan program bantuan sosial (bansos) tersebut menyedot biaya cukup besar, yakni Rp220,39 triliun pada 2020 dan Rp187,84 triliun pada 2021.
Studi The SMERU Research Institute (SMERU) mengungkap bansos telah membantu meringankan beban masyarakat miskin dan rentan dalam menghadapi dampak kebijakan PPKM 2021 yang dirasakan lebih berat dari tahun sebelumnya. Program bansos berfungsi sebagai jaring pengaman, menambah pemasukan, mengurangi pengeluaran, dan menyediakan jaminan penerimaan uang dan natura.
Mayoritas pelaksanaan bansos relatif lebih baik dan sesuai ketentuan. Akan tetapi, pada beberapa kasus, pelaksanaan bansos masih menghadapi berbagai kendala. “Hasil temuan kami menunjukkan terdapat penerima bantuan belum tepat sasaran, tumpang tindih penerima bantuan, pencairan terlambat dan tidak sesuai dengan periode bantuan, alur distribusi dan pengajuan bantuan kurang ringkas, dan bentuk, jumlah serta nilai bantuan yang diterima sasaran tidak selalu sesuai dengan ketentuan,” ujar peneliti SMERU, Hastuti dalam diskusi virtual yang berlangsung Jumat (29/10).
Dua kajian cepat yang dilakukan SMERU pada April-Mei 2020 menemukan indikasi bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak mutakhir telah berimplikasi pada ketidaktepatan sasaran dan keterlambatan penyaluran bantuan. Tidak semua pemerintah kabupaten/kota melakukan pemutakhiran DTKS secara berkala, meski sudah diamanatkan UU No. 13 Tahun 2011.
“Sebagai instrumen utama untuk menentukan sasaran berbagai program perlindungan sosial, DTKS harus selalu dalam kondisi terkini dan valid agar perannya sebagai sumber data dapat diandalkan,” ucap peneliti SMERU Dyan Widyaningsih.
Penyaluran bansos yang tepat sasaran untuk memitigasi dampak COVID-19 menunjukkan pentingnya pemutakhiran DTKS sebagai sumber data penetapan penerima bantuan. Menurut Dyan, data yang mutakhir akan meningkatkan efektivitas program perlindungan sosial baik dari sisi anggaran yang dikeluarkan, ketepatan sasaran, maupun kecepatan penyalurannya.
“Hal ini sangat penting, terutama ketika terjadi situasi darurat seperti pandemi COVID-19. Semakin efektif program perlindungan sosial maka akan makin besar pula kontribusinya pada keberhasilan upaya percepatan penanganan kemiskinan ekstrem di Indonesia yang ditargetkan nol persen pada 2024,” kata Dyan.
Motivasi pemerintah daerah untuk memutakhirkan DTKS dan kapasitas untuk mengimplementasikannya penting dalam pemutakhiran DTKS Sementara itu, upaya peningkatkan kualitas proses pemutakhiran data ditekankan pada tahap bimbingan teknis, musyawarah desa/kelurahan, dan pendataan (kunjungan rumah tangga).
“Meski tanggung jawab pemutakhiran DTKS berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, perlu dukungan dan keterlibatan dari semua level pemerintahan untuk memastikan kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan dan berkualitas,” Dyan menambahkan.
Pemerintah menurutnya perlu memastikan ketepatan sasaran bantuan melalui pemutakhiran DTKS secara berkala dan berkualitas. “Pemerintah perlu memperbaiki rantai dan frekuensi distribusi bantuan, serta menjamin sampainya bantuan sesuai dengan ketentuan melalui penyediaan sistem pendukung dalam bentuk sistem distribusi, pengawasan, dan pengaduan yang efektif,” pungkas Dyan.