Jakarta, Gatra.com – Rasisme selalu menjadi masalah yang sulit terselesaikan di Amerika Serikat. Di atas kertas, Undang-Undang Hak-Hak Sipil diteken pada 1964 dan secara resmi mengakhiri era segregasi (pemisahan kelompok berdasarkan ras, dalam hal ini antara kulit hitam dan kulit putih). Faktanya, hingga 2021 rasisme tetap ada dan bahkan meluas ke kelompok kulit berwarna lainnya. Bagi warga African-American, perilaku rasis yang mereka alami adalah kengerian nyata yang harus mereka hadapi hari demi hari. Horor ini termanifestasi dalam film supernatural slasher terbaru Candyman yang digarap oleh sutradara perempuan, Nia DaCosta.
Sebagai sekuel langsung dari film pertama dalam seri Candyman yang rilis pada 1992 silam, film 2021 ini kembali menampilkan setting komplek perumahan subsidi Cabrini Green di utara Kota Chicago, Amerika Serikat. Film dibuka dengan cerita pada 1977, ketika William “Bill” Burke yang masih bocah tiba-tiba bertemu langsung dengan Sherman Fields (Michael Hargrove). Pria tua yang diduga merupakan Candyman: pembunuh sadis berlengan satu kait besi.
Cerita lantas pindah empat dekade kemudian, tepatnya di 2019. Pelukis Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II) sedang galau karena kehabisan ide membuat karya. Meski demikian, kekasihnya Brianna Cartwright (Teyonah Parris) tak keberatan menampung Anthony di apartemen barunya yang berlokasi di Cabrini Green yang kini telah disulap oleh pengembang menjadi kawasan apartemen modern khas milenial. Walau area komplek lama yang tetap kumuh masih ada tersisa dan berdiri terlantar tak jauh dari apartemen baru ini.
Satu ketika, adik laki-laki Brianna, Troy (Nathan Stewart-Jarrett) datang berkunjung ke apartemen baru itu dan berkisah soal urban legend Candyman tersebut. Sebut namanya lima kali di depan cermin, maka sosok supranatural itu diyakini akan membunuh siapa saja yang menyebut namanya. Terlebih di masa lalu – yaitu cerita yang dipaparkan di Candyman 1992 – ada perempuan kulit putih bernama Helen Lyle (Virginia Madsen) yang tengah menyelidiki hal ini dan malah berhadapan dengan Candyman (yang selalu diperankan Tony Todd, termasuk pula dalam Candyman 2 dan Candyman 3).
Legenda ini mengusik rasa penasaran Anthony. Bertekad kalau Candyman akan menjadi proyek lukisan barunya, dia mulai melakukan riset di komplek kumuh Cabrini Green lama. Di sana dia bertemu dengan Bill (Colman Domingo) yang kini telah dewasa dan memiliki bisnis laundromat.
Bill pun menjabarkan asal muasal riwayat Candyman – cerita yang juga sudah disebut di Candyman 1992. Alkisah, pada 1890 ada pelukis kulit hitam bernama Daniel Robitaille. Sayangnya, pria tersebut menjalin asmara dengan seorang perempuan kulit putih. Akibatnya, Daniel diamuk massa, lengannya dipotong, dan bagian tubuhnya dibelah serta dilumuri madu yang membuat lebah-lebah berdatangan menghabisi dia. Itulah alasannya kehadiran Candyman selalu disertai lebah.
“Candyman adalah cara kita berhadapan dengan fakta bahwa hal-hal rasis ini telah terjadi di hidup kita dan masih terus terjadi hingga sekarang!” keluh Bill kepada Anthony.
Usai pertemuan itu, tak disangka horor Candyman kembali merajalela. Semua orang (terutama kulit putih) yang dianggap melakukan represi rasisme terhadap kelompok kulit hitam tertentu, pasti berujung mati mengenaskan akibat tebasan besi Candyman.
Candyman ini pertama kali dibuat oleh Clive Barker dalam sebuah cerita pendek berjudul “The Forbidden”, yang merupakan bagian dari bukunya “Books of Blood” yang terbit pada 1985 silam. Pria kelahiran Inggris itu menyorot isu rasisme di kota kelahirannya, Liverpool sebagai premis utama Candyman. Candyman disebut sebagai hantu dari anak seorang budak yang juga seorang pelukis dan belakangan dibantai pada akhir abad ke-19.
Ketika menyutradarai Candyman ke layar lebar untuk pertama kalinya, Bernard Rose memutuskan memindahkan setting kisah Candyman ke AS dan menjabarkan isu rasisme di negara Paman Sam tersebut. Meski film itu tak terlalu sukses di pasaran, tapi adaptasi Candyman itu segera menjadi salah satu film klasik yang memiliki penggemar tersendiri. Disusul kemudian dengan sekuelnya, Candyman: Farewell to the Flesh (1995) dan Candyman: Day of the Dead (1999).
Candyman 1992 menjadi bersejarah karena itu adalah film horor pertama di Hollywood yang menampilkan karakter pria berkulit hitam sebagai tokoh antagonis utamanya.
Jordan Peele yang ketika itu masih berusia 13 tahun pun jatuh hati pada film ini. “Saya adalah penggemar film horor saat anak-anak. Saat itu kita tidak mempunyai versi kulit hitam dari Freddy Krueger ataupun Jason Voorhees. Jadi ketika Candyman hadir, film itu terasa sangat berani dan katarsis. Juga menakutkan,” kenangnya.
Dengan pengalamannya menyutradarai Get Out (2017) dan Us (2019), aktor kelahiran New York ini memang telah mengukuhkan diri sebagai sutradara horor. Tak hanya horor, film drama yang ia produseri, BlacKkKlansman (2018), semua konsisten mengangkat tema penderitaan rasisme yang dihadapi warga African-American.
Ketika dipercaya menjadi produser dan salah satu penulis naskah Candyman 2021, Jordan kembali menggunakan pola serupa. Mulai dari dominasi tokoh kulit hitam hingga implementasi semangat #BlackLivesMatter, semua tergambar cukup harafiah di film ini.
Hasilnya adalah film horor berbobot yang memberi kesan mendalam. Tak sebatas membuat scene-scene jump scare, Candyman 2021 mengajak penonton menyelami tantangan keseharian kelompok kulit hitam di Chicago sana.
Jordan tadinya direncanakan juga untuk menyutradarai film ini. Tapi keputusan itu lalu diubah, dan kursi sutradara dipercayakan pada Nia DaCosta. Hasilnya, kini dia memegang rekor sebagai sutradara perempuan kulit hitam pertama yang filmnya masuk jajaran box office di pekan perdananya. Pada Agustus 2020 lalu, Nia telah dikontrak Marvel untuk menggarap film The Marvels, sehingga membuat dia menjadi sutradara film Marvel termuda.
Dengan durasi 91 menit (1 jam 31 menit), Candyman 2021 adalah film Candyman terpendek dibanding tiga seri lainnya. Film horor ini sudah bisa ditonton di bioskop seluruh Indonesia mulai hari ini.