Tahun 1994, edisi Oktober/November, Foreign Affair menerbitkan tulisan Paul Krugman berjudul "The Myth of Asian Miracles," sebuah tulisan yang cukup mengesankan saya, sekalipun saya bukanlah seorang pengagum berat para New Keynesian.
Bagi Krugman ketika itu, keajaiban Asia via pertumbuhan ekonomi mengesankan dari negara-negara industri baru, jika tak benar-benar meniru Jepang, hanyalah pertumbuhan yang "menunggu untuk tidak tumbuh."
Krugman mencoba membandingkan pertumbuhan mengesankan di negara-negara industri baru Asia era 1980-1990an dengan masa-masa awal Uni Soviet, yang tumbuh sangat progresif di fase awal lalu berakhir tragis.
Pertumbuhan di negara industri baru Asia di akhir tahun 1980-an dan tahun 1990an, layaknya Uni Soviet, adalah pertumbuhan yang dibangun di atas upaya mobilisasi besar-besaran "input," sehingga secara rasional akan memberikan dorongan kepada "output. "
Namun, kata Krugman, negara industri baru Asia bermasalah dengan institusi dan struktur ekonomi yang tidak demokratis, sehingga sulit untuk mendapatkan efisiensi, dan mendorong teknologisasi selama bertentangan dengan kepentingan para diktator yang berkuasa di negara-negara Asia.
Uni Soviet berhasil memobilisasi modal, barang modal, dan tenaga kerja di dua dekade awal pasca perang dunia kedua. Tapi karena institusi dan struktur ekonomi politik yang korup dan monolitik, Uni Soviet gagal memperbaiki efesiensi ekonominya yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan secara bertahap.
Sementara Jepang pasca kekalahan, berhasil memobilisasi berbagai sumber daya sembari melakukan terobosan-terobosan managerial dan teknologikal, yang mendorong input tidak saja menjadi sangat produktif, tapi juga dikelola dengan sangat kreatif.
Input besar yang digelontorkan ke dalam sistem ekonomi disambut dengan kreatifitas teknologikal dan efisensi managerial, lalu menghasilkan "keberlanjutan" yang nafasnya lebih panjang dibanding Uni Soviet.
Walhasil, Jepang berhasil mencapai pendapatan perkapita sekira 80 persen dibanding Amerika di era awal 1990-an sebelum dihadang resesi dan stagnasi. Layaknya Jepang di era Meiji yang berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara industri di Eropa barat dan Amerika Utara sebelum perang dunia pertama, Jepang pasca perang dunia kedua pun menorehkan raihan yang sama dengan duduk sejajar bersama negara-negara maju di dalam komunitas G7 dan OECD, satu-satunya dari Asia di tahun 1990an.
Namun, negara industri baru Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, terus memobilisasi input dalam lingkungan yang otokratik-monolitik dengan managemen yang sangat pro-diktator, pada waktunya akan berhenti tumbuh progresif ketika negara tak mampu lagi memobilisasi berbagai sumber daya untuk digelontorkan sebagai "input" ekonomi.
Tak butuh waktu lama asumsi dari Paul Krugman tersebut berbuah fakta. Tiga tahun kemudian, 1997, krisis Asia membuktikan itu. Tata kelola yang otokratik menghasilkan managemen ekonomi yang dipenuhi praktek KKN. Walhasil, krisis mata uang yang bermula di Thailand berujung pada tumpukan utang dari pengusaha-pengusaha yang notabene adalah kroni dan keluarga dari penguasa.
Devaluasi Yen sebelum Plaza Accord 1985 membuahkan utang murah dari negeri Sakura yang dilahap oleh konglomerasi-konglomerasi rekanan penguasa. Namun pembalikan nilai tukar Yen pasca 1985 sampai 1996 menjerumuskan utang-utang tersebut ke dalam lubang yang lebih dalam, lalu rumah managemen ekonomi nasional itu kolapse seketika.
Bangunan kertas itu harus diselamatkan dengan rangka bangunan baru yang berlandaskan likuiditas talangan dari negara.
Korea Selatan dan Taiwan, yang sejak semula cukup serius menjiplak gaya developmental Jepang dan sejak 1980 mulai beralih ke ekonomi politik demokratis pelan-pelan bisa selamat, sementara Indonesia, Malaysia, Pilipina, Singapura, dan Thailand, terjebak di dalam komplikasi struktural yang akut, yang sampai hari ini masih sulit menorehkan kembali angka-angka besar pertumbuhan ekonomi tahunan layaknya tahun 1980-an.
Singapura dan Hong Kong masih beruntung karena berstatus sebagai negara pelabuhan dengan jumlah penduduk yang kecil, taraf hidup tinggi sudah dicapai, walaupun gerak-gerik ekonominya tidak lagi selincah dulu.
Indonesia, pasca Orde Baru, merubah arah nyaris 360 derajat, dengan meninggalkan gaya developmental setengah hati Soeharto menuju pendekatan neoklasikal sepenuh hati.
Diawali dengan supervisi IMF dan para teknokrat neoklasikal, Indonesia dipaksa tunduk pada aturan main penyesuaian struktural dengan disiplin fiskal kelas dewa, tapi bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak, melainkan untuk meyakinan para donor dan pemberi pinjaman bahwa Indonesia masih menjadi rentetan pulau-pulau yang layak diutangi.
Walhasil, kini Indonesia hanya butuh angka raihan ekonomi yang baik dengan tingkat inflasi yang moderat bersamaan dengan pertumbuhan penerimaan negara via berbagai cara, agar rating surat utang negara tetap bercokol di ranah "layak" dan "positif."
Perkara apakah industri nasional dihajar produk-produk manufaktur dari luar, atau para petani di pedesaan dipojokan oleh komoditas impor berharga miring, sudah bukan perkara penting lagi bagi pemerintah.
Dan memasuki era Jokowi, Indonesia dibawa ke ekosistem ekonomi hibrida di mana secara fiskal pemerintah berjuang habis-habis untuk berbelanja infrastruktur tapi secara makro masih dikelola dengan gaya neoklasikal.
Artinya, proyek-proyek infrastruktur hanyalah instrumen untuk mengamankan angka raihan pertumbuhan ekonomi agar tidak makin melemah, dengan inflasi rendah via rekayasa supply (import), terutama sejak era "commodities boom" mulai berakhir dan pemerintahan yang baru kehilangan akal menemukan sumber pertumbuhan baru kecuali infrastruktur.
Pemerintah tidak lagi mencoba berkiblat pada pengalaman Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau sekarang Cina, yang mengintegrasikan kebijakan infrastrukturnya tidak saja untuk pertumbuhan ekonomi, tapi juga untuk mengokohkan daya saing industri nasional dan menggairahkann sektor pertanian dengan disiplin ekspor tingkat tinggi.
Sampai sekarang pun, kita kian hari dibuat terlena dengan raihan pertumbuhan ekonomi yang secara komparatif digadang-gadang sangat mengesankan dengan tingkat inflasi yang nyaris sejajar dengan lantai.
Tapi di tengah-tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan proyek-proyek infrastruktur itu, industri baja meradang, industri semen kelebihan produksi, industri pelayanan penerbangan kelimpungan, industri asuransi dilanda skandal demi skandal, manufaktur nasional menua dan deindustrialistik, bersamaan dengan petani-petani yang menyaksikan hasil pertaniannya dilindas oleh komoditas impor yang ikut "nimbrung" di atas aspal jalan desa hasil karya proyek infrastruktur negara.
Kita kini terlena dan perlu mengingat kembali secara kontemplatif kalimat apa yang digunakan Paul Krugman untuk menutup tulisannya kala itu. "But economics is not a dismal science because the economists like it that way, it is because in the end we must submit to the tyranny not just of the numbers, but of the logic they express," tulis Krugman mengakhiri tulisannya.
Kita tidak hanya memerlukan angka pertumbuhan yang tinggi, tapi juga harus memahami segala sesuatu yang telah menciptakan angka tersebut. Jika hanya angka besar di atas kertas yang tidak mewakili kapasitas, kekuatan, dan daya saing perekonomian nasional secara fundamental, maka angka tersebut suatu waktu akan kehilangan makna.
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution