Karanganyar, Gatra.com – Sertifikasi lahan pangan organik asal Karanganyar, Jateng ke Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman mandek pada tahun ini. Alasannya pada anggaran yang nihil.
Kepala Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan (Disnakan PP) Karanganyar Siti Maesyaroch mengatakan biaya penyertifikatan memang tidak murah. Sehingga pemerintah membantu biaya tersebut.
“Pada tahun 2020 kemarin masih dibiayai pemerintah. Tiap bidang yang didaftarkan, dibiayai Rp40 juta untuk mendapatkan sertifikat organik. Namun pada tahun ini enggak ada lagi program itu. Sebab sudah tersedot ke refokusing,” katanya kepada Gatra.com, Selasa (26/10).
Pada program tahun lalu, Pemkab Karanganyar membiayai sertifikat organik untuk lahan pertanian yang tersebar di 240 hektare sawah. Siti mengatakan, setelah lahan bersertifikat organik maka tanamannya pun mengikuti metode tersebut. Diharapkan, sertifikasi tanaman pangan organik di Karanganyar lebih banyak lagi.
“Makin banyak pasar untuk tanaman pangan organik. Harganya pun lebih tinggi dibanding yang ditumbuhkembangkan berpupuk kimia. Kita sedang mendampingi untuk pemasarannya,” katanya.
Meski sertifikasi lahan pertanian organik di tahun ini mandek dibiayai pemerintah, namun tetap ada inventarisasi pengajuan dari kelompok tani. Sedikitnya ratusan hektare sawah milik mereka tercatat di daftar tunggu. Rencananya, Dinas Pertanian PP Karanganyar mengajukannya tahun depan.
“Masih ada tahun depan. Semoga diperjuangkan. Sebab pertanian di Karanganyar pitensial beralih ke organik,” jelasnya.
Sementara itu Asosiasi Petani Organik Karanganyar Tenteram (Apokat) menghitung area pertanian organik hanya sekitar 1 persen dari total lahan pertanian di Karanganyar. Minimnya lahan pertanian organik disebabkan petani kurang teredukasi dan pendampingan dari pemerintah yang minim.
Ketua Apokat Karanganyar, Hasyim, mengatakan total luas lahan pertanian padi di Karanganyar 55.334 hektare
“Kalau dilihat memang masih minim sekali. Pendataan untuk petani organik di Karanganyar per Januari 2021 sudah menjadi satu dan total masih sebatas 270 hektare luasnya. Masih jauh dibanding konvensional,” terang dia.
Hasyim menambahkan hingga saat anggota Apokat sebanyak hampir 500 petani. Alasan masih stagnannya jumlah petani organik menurutnya karena rendahnya kesadaran dan kemauan petani untuk beralih ke sistem organik. Proses transisi dan kebutuhan pupuk yang lebih banyak dinilai menjadi penyebab rendahnya minat petani.
“Kebanyakan kan petani sudah tua. Mereka tidak sabar karena transisi dari konvensional ke organik butuh waktu setidaknya 2 tahun untuk penyesuaian lahan. Selain itu, pupuk kalau pakai kimia 2.000 meter persegi hanya butuh 1 kuintal, kalau organik butuh pupuk kandang sampai 1 ton. Mereka enggan melakukannya,” imbuh dia.
Selain itu, Apokat juga menyoroti masih kurangnya dukungan pemerintah pusat terkait gerakan pertanian organik. Subsidi bantuan atau pelatihan masih berkutat di bidang pertanian konvensional.