Jakarta, Gatra.com- Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengungkapkan sejumlah aturan yang dilanggar dalam pemberian gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Ubedilah mengutip Permenristekditi No.65 Tahun 2016 di pasal 1 & 2, di mana setidaknya terdapat tiga poin penting mengenai pemberian gelar Honoris Causa. Pertama, pihak yang berhak mendapatkan gelar Honoris Causa adalah yang memiliki karya luar biasa dan jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan teknologi dan kemanusaian.
Kedua, program studi pengusul merupakan program studi S3 yang terakreditasi A. Kemudian, tata cara dan persyaratan pemberian gelar doktor kehormatan diatur masing-masing perguruan tinggi.
“Pak Ma’ruf Amin itu karyanya terkait dengan apa yang disebut sebagai negara kesepakatan, kami melihat itu ide klasik dan sudah digagas Jean Jacques Rousseau pada abad XVII ketika bica teori kontrak sosial. Jadi kita melihat itu bukan ide baru. Kemudian yang mengajukan, program studinya juga bukan program studi S3 yang terakreditasi A.” ungkap Ubedilah dalam diskusi daring, Ahad (24/10) malam.
Selain itu, Ubedilah menyoroti tata cara dan persyaratan pemberian gelar itu menyalahi aturan karena terdapat aturan yang melarang pihak UNJ memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada seseorang yang sedang menjabat dalam posisi penting di pemerintahan untuk menjaga moral akademik. “Jadi aturan-aturan itu dilanggar, memaksakan. Akhirnya kami menganalisis ini ada persoalan yang serius,” ujar Ubedilah.
Ubedilah lantas menyebut bahwa pemberian gelar HC yang menyalahi aturan tersebut tak lepas dari faktor regulasi yang politis pada pemilihan jabatan rektor. Menurutnya, faktor relasi elit kampus dan elit kekuasaan melanggengkan praktek ini. Relasi tersebut bermula dari Permenristekdikti no.19 Tahun 2017 terkait hak 35 persen suara menteri dalam pemilihan jabatan rektor di kampus negeri.
“Di sini lah muncul upaya untuk melakukan lobi-lobi politik terhadap menteri agar memperoleh dukungan 35 persen suara itu.” tegasnya.
Ubedilah lantas menyebut salah satu kasus di mana pada pemilihan rektor di salah satu kampus negeri, pihak yang mendapatkan suara terbanyak justru kalah lantaran besaran 35% suara dari menteri diberikan kepada kandidat kedua.
Lebih lanjut, Ubedilah menuturkan bahwa ada semacam mediator yang dapat melobi 35% suara itu. Mediator ini bahkan dapat mengubah suara para menteri dalam hitungan jam.
“Saya melihat ini baru terjadi pada, maaf kalau saya sebutkan, episode pemerintahan sekarang. Pemilihan sebelumnya tidak, karena pemilihan sebelumnya menteri itu membagi suara, tidak pada satu orang saja 35% itu. Mungkin yang dinilai oleh para menteri yang paling bagus bisa suaranya 15%, yang kurang bagus 10% dan kurangnya ke bawah lagi.” jelasnya.
“Tapi di dalam peristiwa terakhir-terakhir ini, kami melihat 35% ini langsung diberikan ke satu orang. Ini pintu yang kemudian membuka peran-peran mediator melakukan lobi-lobi,” lanjutnya.
Pada akhirnya regulasi tersebut, jelas Ubedilah membuahkan politik balas budi yang dapat berdampak buruk terhadap otonomi dan wibawa kampus. Dalam situasi ini kampus pun terjebak, berubah menjadi lembaga birokrasi, bukan sebagai entitas yang terbebas dari kepentingan elit.