Yogyakarta, Gatra.com - Menyambut peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021, 100 buku yang dinilai mewarnai sejarah dan budaya Indonesia sejak era kolonial diterbitkan kembali.
Persatuan penulis Indonesia Satupena memilih 100 buku itu untuk diterbitkan lagi mengingat buku-buku itu penting dibaca publik. Ketua Umum Satupena, Denny JA, menjelaskan 100 buku tersebut terpilih berdasarkan sejumlah tahapan.
“Dua hal yang kami lakukan. Pertama, memilih 100 judul buku itu melalui kriteria, survei, dan penilaian para ahli. Kedua, berupaya menerbitkan kembali 100 buku itu dalam bentuk print on demand," tutur Denny dalam keterangan tertulis, Minggu (24/10).
Ia menjelaskan, pertanyaan terbuka sudah diedarkan sejak akhir Agustus 2021- medio September 2021 kepada empat grup WA yang masing-masing beranggotakan 100-250 penulis.
Dari proses ini terkumpul 42 judul buku non-fiksi dan 73 buku fiksi. Total terkumpul 115 judul buku.
Satupena juga membentuk tim ahli untuk menyempurnakan pilihan forum para penulis itu, yakni Azyumardi Azra dan Manuel Kaisiepo untuk karya non-fiksi juga Nia Samsihono dan Suminto A. Sayuti untuk karya fiksi.
"Sesuai usulan yang masuk, pilihan dipadatkan dan diperkaya menjadi 100 judul buku saja," kata Denny.
Selain itu, tim selektor diberi wewenang mengusulkan buku lain, termasuk menambah dan mengurangi dari daftar itu agar lebih mendekati kriteria seperti dibaca luas di eranya, menciptakan genre baru, cara penulisan baru, atau perspektif baru, hingga menyampaikan pesan penting.
Sejumlah buku dari daftar 100 buku itu antara lain Di Bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno (1959), Renungan Indonesia karya Sutan Sjahrir (1947), Demokrasi Kita oleh Bung Hatta (1963), hingga Habis Gelap Terbitlah Terang tulisan RA Kartini (1922).
Selai itu, ada karya Marah Rusli dengan Siti Nurbaya (1922), Layar Terkembang karya Takdir Alisjahbana (1936), dan Perburuan oleh Pramudya Ananta Toer (1950).
Buku paling tua terbitan tahun 1920 yakni Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Adapun yang paling baru, Atas Nama Cinta karya Denny JA terbit 2012 yang dianggap melahirkan genre puisi esai.
"Buku-buku fiksi dan non-fiksi ini mempengaruhi batin, sejarah, dan budaya Indonesia," kata Denny.
Menurutnya, sejumlah buku susah diakses publik. "Seandainya pun buku itu dijumpai, sangat mungkin susah dibaca insan zaman kini karena berbedanya ejaan dan tata bahasa," katanya.
Untuk itu, 100 buku yang berpengaruh dalam sejarah dan budaya Indonesia itu disunting kembali sesuai tata bahasa Indonesia masa kini.
"Buku-buku itu disediakan dalam print on demand, dapat dicetak oleh siapapun yang memesan," katanya.