Jakarta, Gatra.com – Direktur Sumber Daya Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek, Muhammad Sofwan Effendi, menjelaskan ketentuan pemberian gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa oleh perguruan tinggi. Tidak semua perguruan tinggi (PT) bisa memberikan gelar Doktor HC.
“Dalam persyaratannya, tidak semua [PT] boleh memberikan gelar kehormatan, akhirnya tertuang di dalam aturan kita,” kata Sofwan dalam saresehan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bertajuk “Bedah Regulasi Pemberian Gelar Doktor Kehormatan: Tinjauan Filosofis, Hukum, Akademis, dan Ketatalaksanaannya” yang digelar secara hybrid pada pekan ini.
Ketentuan tersebut, lanjut Sofwan, misalnya perguruan tinggi (PT) yang menghasilkan gelar doktor alias mempunyai program doktoral (S3) yang relevan dengan karya atau jasa seseorang yang akan diberikan gelar kehormatan tersebut.
Akreditasi program doktoral dan pergurun tingginya harus A atau unggul. "Perguruan tinggi [institusi] dan pogram doktornya [akreditasinya] A. Artinya dua-duanya [A]," ucapnya.
“Kemudian memiliki fakultas, jurusan atau prodi yang memengembangkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan ilmu pengetauan yang menjadi ruang lingkup untuk diberikan doktornya,” kata dia.
Syarat selanjutnya, program fakultas atau Prodi ini minimal memiliki 3 guru besar tetap. Ini juga merupakan syarat mendirikan suatu Prodi di PT. “Seharusnya 5 [guru besar] tetapi yang 2 boleh tidak tetap, tetapi mengajar di situ,” ucapanya.
Sedangkan dari sisi kandidat yang akan diberikan gelar kehormatan doktor honoris causa-nya, lanjut Sofwan, harus memiliki jasa dengan kriteria yang luar biasa.
“Calon yang akan diberikan itu luar biasa di dalam ilmu pengetahuan, di bidang teknologi, pendidikan, dan pengajaran,” katanya.
Adapun definisi atau terjemahan luar biasa dimaksud, ujar Sofwan, tergatung senat dari suatu PT dan PT merupakan pihak eksekutornya. “Mungkin luar biasa itu ada nilai kebaruan, apa nilai kebaruannya. Kalau ada 10 orang sama berarti biasa,” tandasnya.
Kemudian, luar biasa dalam pegembangan pendidikan, pengajaran dalam bidang ilmu, teknologi maupun sosial budaya. Yang paling utamanya adalah sangat bermanfaat bagi kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara pada khususnya dan umat manusia umumnya.
Ketentuan soal pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa ini sebagaimana terdapat dalam peraturan Kemenristekdikti, yakni Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016.
“Syarat lainnya, luar bisa memberikan tenaga dan pikirannya bagi pengembangan perguruan tinggi, ada sumbangsih bagi perguruan tinggi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, praktik pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa di Indonesia, pada praktiknya sudah terjadi sebelum ada Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016, di antaranya gelar itu diterima Presiden Soekarno dari berbagai universitas dunia dan Indonesia.
“Presiden Soekarno paling banyak menerima [doktor honoris causa], ada 26 dalam catatan sejarah. 26 gelar doktor honoris causa dari yang berbagai universitas di dalam dan luar negeri, dari Colombia, Michigen, Berlin, Al-Azhar Mesir. Dari dalam negeri juga menerima penghargaan dari UGM, UI, ITB, Padjadjaran. Dan itu itu dirujuk Indonesia melahirkan UU, PP, permen,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, ada kesamaan bagi pemegang gelar doktor yang diraih secara reguler dan honoris causa, yakni sama-sama mencanumkan gelar doktornya. Hanya bedanya, diberi HC [untuk doktor honoris causa], kalau profesor sama saja. Istilahnya dosen, guru besar tidak tetap, sama. Bedanya yang satu dapat tunjangan profesor, yang satu enggak, itu saja," katanya.
Pemberian gelar doktor honoris causa bisa diberikan suatu perguruan tinggi yang memenuhi syarat kepada seseorang yang memenuhi ketentuan. Seseorang itu bisa merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA).
“Bagaimana dengan WNA, boleh diberikan. Pak Karno diberikan oleh perguruan tinggi luar negeri asalkan dia dianggap berjasa atau mempunyai karya yang bermanfaat bagi kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara. Kalau WNA, bagi Indonesia ada sumbangsih yang layak diberi gelar doktor honoris causa. Jadi boleh, WNA boleh,” katanya.
Menurutnya, pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa, tata caranya diserahkan kepada masing-masing PT dan disetujui oleh pihak senat PT.
“Apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan Permen 65/2016, menteri dapat mencabut gelar doktor itu, setelah melakukan klarifikasi,” ujarnya.