Banyumas, Gatra.com – Penambang tanah uruk berizin di salah satu desa di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah mengadukan dugaan pemerasaan yang dilakukan oleh sekelompok warga di desa tempat penambangannya beroperasi.
Pemilik usaha penambangan tanah uruk, Cipta Wahyuni mengatakan sekelompok orang tersebut mendadak memaksa menutup tambang dan meminta ganti rugi tanpa alasan yang jelas. Sementara, dia mengklaim tambangnya telah mengantongi izin dengan Nomor 543.32 /6611, tertanggal 27 Juli 2020 dan berlaku 5 tahun, diterbitkan oleh DTMPTSP Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Sebagai pemegang izin, Cipta mengaku telah melaporkan dugaan pemerasan tersebut melalui surat kepada Kapolres dan Balai ESDM wilayah Slamet Selatan, pada Jumat (22/10) kemarin.
“Untuk meminta perlindungan hukum,” ucapnya, dalam keterangannya, Sabtu (23/10).
Dia bercerita, tekanan dari sekelompok orang tersebut berlangsung terus menerus dengan dalih meminta ganti rugi atas dampak penambangan agar pihak penambang bersedia memberikan ganti rugi kepada warga yang terdampak dari tahun 2016 sampai dengan sekarang. Bahkan, intimidasi itu juga sempat berbuntut dugaan kekerasan.
“Bahkan sampai terjadi penganiayaan pada salah satu karyawan tambang,” katanya.
Cipta menjelaskan kompensasi untuk warga sudah diberikan dan bahkan membantu kas masjid serta penyaluran air untuk mushala. Pasalnya, daerah tersebut memang kerap kesulitan air bersih.
“Kami juga membantu pembangunan penyimpanan keranda di pemakaman umum daerah setempat. Dan mendukung kegiatan sosial masyarakat,” ujarnya.
Sementara, pengamat lingkungan hidup, Eddy Wahono mengatakan upaya tambang di desa tersebut sangat membantu pengurangan dampak bencana karena mengeruk dan melandaikan tebing yang biasa longsor pada musim penghujan.
“Sangat diharapkan perlindungan hukum untuk penambang berizin seperti yang tertuang pada Undang Undang Minerba Nomor 3 tahun 2020 pasal 162 di mana masyarakat yang mencoba mengganggu merintangi aktivitas pertambangan berizin akan dijatuhi hukuman pidana 12 bulan atau denda Rp100 juta rupiah,” tandas Eddy.
Eddy mengakui, penambangan memang sangat rentan dengan konflik sosial. Karena itu, butuh solusi agar penambang berizin mendapatkan perlindungan hukum, jika memang tidak melanggar regulasi.
“Diharapkan pemerintah dapat konsisten dalam melaksanakan perlindungan hukum pada penambang berizin. Dan diatur dalam perundangan yang bisa menutup dan menghentikan pertambangan adalah gubernur atau menteri,” ujar dia.