Jakarta, Gatra.com– Temuan survei SMRC yang dirilis hari ini, Selasa, (19/10/2021), menunjukkan bahwa sebanyak 68,5% masyarakat menyatakan puas dengan kinerja Presiden Jokowi, setidaknya untuk rentang waktu dua tahun ke belakang (sejak periode kedua Jokowi dimulai), termasuk ketika memasuki masa pandemi Covid-19.
Akan tetapi, ada sisi lain yang cukup menarik perhatian dari temuan survei tersebut. Meski tergambar bahwa mayoritas masyarakat Indonesia senang dengan kinerja Jokowi, hal yang sama tak berlaku bagi masyarakat beretnis Minang dan Sunda.
Dari temuan survei SMRC, tingkat kepuasan masyarakat Minang hanya mencapai angka 37% dan sekaligus menjadi yang terendah di antara kelompok masyarakat lainnya. Di posisi kedua terendah ada masyarakat Sunda yang tingkat kepuasannya hanya 49%.
Dua posisi tersebut kemudian disusul oleh etnis Betawi dengan angka 51%, etnis Madura 68%, etnis Bugis dan Batak 77%, dan yang tertinggi adalah etnis Jawa dengan angka kepuasan 76%.
Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi, menduga hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah ketidaksukaan banyak masyarakat Minang terhadap partai pengusung Jokowi, yaitu PDIP.
“Kalau Minang dukungan terhadap PDIP itu sangat lemah, bahkan dalam pemilihan walikota dan gubernur beberapa tahun yang lalu, calon PDIP itu mengundurkan diri karena pernyataan-pernyataan elit PDIP dianggap tidak berpihak atau tidak menghargai etnis Minang. Umpamanya pernyataan Puan Maharani,” ujar Sigit kepada Gatra.com melalui sambungan telepon pada Selasa, (19/10/2021).
Seperti diketahui, beberapa bulan lalu, pernyataan Puan Maharani sempat dinilai menyakiti perasaan masyarakat Minang. Pasalnya, ia menyebut bahwa masyarakat Minang tidak Pancasilais.
“Ini kemudian berpengaruh terhadap melemahnya simpati masyarakat Minang kepada Jokowi. Saya pikir, untuk masyarakat Minang dan masyarakat Sunda bukan disebabkan oleh rendahnya atau kurangnya kinerja Jokowi dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, tetapi oleh relasi khusus antara partai yang mengusung Jokowi dengan masyarakat Minang dan masyarakat Sunda,” jelas Sigit.
Sigit melihat bahwa Presiden Jokowi sebetulnya sudah berupaya untuk memperbaiki situasi tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan membangun infrastruktur dan pembangunan ekonomi secara masif di kedua daerah tersebut.
Jokowi memang sudah beberapa kali meresmikan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera, seperti ruas Pekanbaru-Padang Seksi I (Padang-Sicincin) pada Februari 2018 lalu.
Begitu pula di Jawa Barat. Jokowi telah beberapa kali meresmikan pembangunan tol di Tatar Sunda, di antaranya Tol Soroja (Soreang-Pasirkoja) pada 2017 hingga Tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) dan Tol Ciawi-Sukabumi pada tahun 2021.
Khusus di Jawa Barat, selain tol, Jokowi juga telah membangun infrastruktur Bandara Kertajati di Kabupaten Majalengka dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sigit melihat manuver ini sebagai upaya Jokowi untuk mengambil hati masyarakat Sunda.
“Nah, tetapi dukungan terhadap Jokowi masih lemah. Ini tidak terlepas dari menguatnya politik kebencian yang terjadi antara dua etnis Minang dan Sunda itu terhadap Jokowi dan PDIP,” ujar Sigit.
Sigit menambahkan bahwa sentimen politik bukanlah satu-satunya alasan mengapa masyarakat Minang dan Sunda tak puas dengan kinerja Jokowi. Alasan lainnya adalah sentimen religius.
“Beberapa daerah yang sering dikenal sebagai lima menara—Aceh, Sumbar, Sulsel, Nusa Tenggara, Gorontalo, sebagian besar luar Jawa—itu dukungan terhadap PDIP lemah. Simpati terhadap PDIP juga kurang. Di daerah-daerah itu, dulu sangat kuat Partai Masyumi. Kalu sekarang [yang] mewarisi lebih ke PKS,” papar Sigit.
“Daerah di mana PKS kuat, simpati atau dukungan terhadap partai-partai sekuler, itu lemah. Sekarang ini partai sekuler yang memegang kekuasaan adalah PDIP. Karena itu kemudian ketidaksukaan dari masyarakat yang kuat agama Islam-nya kepada Jokowi itu juga lemah,” jelas Sigit.
Selain menarik, Sirojuddin mengatakan bahwa temuan survei di atas juga penting bagi pihak pemerintah, terutama dalam menentukan kebijakan atau pendekatan tertentu.
“Saya kira penting untuk dimengerti bahwa pemerintah perlu memikirkan mereka [Sunda dan Minang] secara lebih serius atau mendalami apa sebetulnya yang membuat warga Minang atau warga Sunda itu kritis dan tingkat kepuasannya lebih rendah dibanding kelompok-kelompok etnis atau wilayah yang lain,” imbuh Sirojuddin.