Home Politik Memoria Passionis: Trauma Psikologis Warga Papua yang Mengalami Kekejaman

Memoria Passionis: Trauma Psikologis Warga Papua yang Mengalami Kekejaman

Jakarta, Gatra.com – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengungkapkan bahwa pada saat ini warga Papua mengalami sebuah fenomena yang disebut sebagai memoria passionis.

Memoria passionis adalah tentang ingatan kolektif yang tidak tertuliskan tentang sejarah penderitaan dan kekejaman yang dialami oleh orang Papua, terutama orang-orang yang tinggal di lokasi konflik di Papua dan pernah mengalami kekerasan kemudian mengalami trauma psikologis yang sulit untuk disembuhkan,” ujar Cahyo dalam sebuah webinar yang digelar oleh LP3ES pada Senin, (18/10).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam artikelnya bertajuk “Memoria Passionis Papua” (2015) mendeskripsikan fenomena tersebut sebagai siklus kekerasan di Papua yang tak pernah berhenti dari rezim ke rezim yang kemudian menimbulkan luka yang dalam dan trauma berkepanjangan di kalangan Orang Asli Papua.

ELSAM mencatat bahwa siklus kekerasan di Papua terjadi sejak dekade 1950-an, jauh sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Pepera merupakan sebuah agenda perundingan untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia yang dinilai kontroversial karena tokoh intelektual dan masyarakat yang tak mendukung konsep tersebut mengalami intimidasi dan teror.

“Pada titik inilah kemudian, sejarah integrasi dan status politik orang Papua menyisakan persoalan panjang dan melahirkan persoalan-persoalan baru. Konflik yang semestinya diselesaikan dengan dialog konstruktif tak pernah terwujud. Sebaliknya, setiap kali muncul suara-suara kritis, selalu dibungkam dengan dengan kekerasn,” tulis ELSAM.

Oleh karena itu, Cahyo menilai bahwa warga non-Papua wajib mengetahui sisi psikologis orang-orang Papua. Ia mencontohkan realita terkini, seperti program vaksinasi Covid-19 di wilayah Papua.

“Kalau vaksin itu ya jangan menggunakan TNI atau Polri, ya. Jadi, kalau vaksin itu percayakan pada Puskesmas kemudian melakukan pendekatan kepada penduduk asli,” ujarnya.

Cahyo khawatir memoria passionis di kalangan warga Papua bisa kambuh ketika mereka harus melakukan vaksinasi dengan anggota TNI-Polri sebagai petugasnya. “Jadi begitu mereka [orang Papua] melihat yang melakukan vaksin adalah anggota TNI atau Polri, kemudian muncul suatu pendapat, ‘Oh ini jangan-jangan vaksin ini akan membunuh kita orang semua,’” ujarnya.

Apa yang diungkapkan Cahyo senada dengan yang dipaparkan oleh seorang aktivis HAM Papua Barat, Javier Rosa, pada September 2021 lalu. Menurut Rosa, sebagian besar warga Papua Barat mengalami trauma saat harus mengikuti program vaksinasi Covid-19 nasional dari pemerintah lantaran petugas-petugas vaksinasinya merupakan anggota TNI-Polri.

“Masih banyak warga Papua Barat yang masih merasakan trauma karena vaksinasi dilakukan oleh anggota militer dan polisi. Bagi kami, [kehadiran militer dan polisi] menghadirkan trauma,” ujar Rosa.

“Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami karena adanya latar belakang politik di Papua Barat tentang hal itu. Bagi kami, itu menjadi pertanyaan besar kenapa vaksinasi harus dilakukan oleh anggota militer dan anggota BIN,” imbuh Rosa.

Oleh karena itu, Cahyo menyebut bahwa pendekatan keamanan tak efektif dalam upaya menyentuh Papua. Apabila itu tetap dilakkukan, ia khawatir memoria passionis warga Papua bisa kambuh kembali.

“Apakah operasi militer ini akan berhasil? Pendekatan keamanan dalam banyak riset cenderung tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan menimbulkan trauma psikologis,” ujar Cahyo.

3281