Cilacap, Gatra.com – Anomali cuaca di Jawa Tengah bagian selatan pada Oktober 2021 ini dinilai sebagai dampak pemanasan global. Di kawasan Jateng selatan, pada Oktober ini curah hujan masih sangat minim, meski sudah memasuki akhir dasarian kedua.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung, Rendi Krisnawan mengatakan pemanasan global secara umum memicu perubahan pola iklim dan cuaca. Hal ini berdampak pada munculnya fenomena cuaca yang biasa dipicu fenomena alam yang sebelumnya belum terprediksi.
“Sebenarnya ini, sudah termasuk dalam, secara umum, akibat dampak pemanasan global. Jadi kondisi iklim sudah mulai berubah, kondisi cuaca sudah mulai berubah,” katanya.
Dia mengakui, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada September lalu telah mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem yang diperkirakan terjadi pada akhir September atau awal Oktober.
Akan tetapi, ternyata hingga akhir dasarian kedua Oktober ini curah hujan masih rendah. Kondisi ini berbeda dari bulan sebelumnya, September, di mana curah hujan cukup tinggi meski masih musim transisi.
“Di Oktober dasarian kedua, masih termasuk kategori rendah juga. Yaitu antara 21 hingga 50 milimeter. Meskipun di beberapa wilayah sebagian kecil, sudah berkategori menengah, tetapi masih, antara 51-100 milimeter,” ujarnya.
Kata dia, peringatan dini tersebut diterbitkan sebelum munculnya dua siklon tropis di belahan bumi utara, yakni siklon tropis Kompasu dan Namtheun. Dua badai tropis ini memicu perubahan cuaca secara signifikan sehingga curah hujan masih rendah meski sudah memasuki musim hujan.
“Secara langsung tidak berdampak. Tetapi, berpengaruh terhadap pola angin dan cuaca yang menyebabkan curah hujan rendah,” jelasnya.
Rendi mengemukakan, pola cuaca yang berubah ini juga membuat masyarakat kesulitan untuk memulai awal musim tanam, khususnya di sawah tadah hujan. Petani masih terkendala karena ketiadaan air.