Pati, Gatra.com - Pengusaha bus pariwisata di Kabupaten Pati, Jawa Tengah masih mengalami dampak pandemi. Bahkan tidak sedikit pelaku usaha ini yang terpaksa gulung tikar, lantaran tak kunjung dibukanya objek wisata di sejumlah daerah pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berlevel-level.
Pengusaha Bus Pariwisata, Soegiharto mengatakan, dari 20 anggota Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), saat ini saja sudah ada dua pelaku usaha yang gulung tikar karena pailit. Sementara sisanya harus rela menjual armada dan bahkan diburu pihak perbankan.
"Pemasukan kosong, sekadar untuk makan tiap hari aja, tak ada. Tiap hari dikejar leasing pula. Padahal, intruksi pemerintah agar perbankan memberikan relaksasi kredit, ternyata tak sesuai fakta di lapangan. Saya sendiri sudah mengajukan tetapi ditolak," ujarnya saat ditemui di rumahnya Desa Tlogorejo, Kecamatan Tlogowungu, Kamis (14/10).
Pengusaha yang mulai merintis usahanya tahun 2015 ini, mengaku tidak bisa berbuat banyak diterjang pandemi Covid-19. Bahkan pria baya ini terpaksa merumahkan sebanyak 35 karyawan karena usaha yang berhenti beroperasi.
Dari sebanyak 11 unit bus di garasi, Soegiharto harus merelakan enam busnya terjual dengan harga yang sangat murah. Lagi-lagi demi memenuhi kebutuhan harian, dan mengangsur pihak perbankan.
"Bus yang semula 11 unit, sekarang hanya tinggal lima unit. Yang lainnya saya jual untuk kebutuhan harian dan bayar angsuran. Harga jual bus pun turun 50 persen, memang rugi banyak tapi gimana lagi. Tidak ada pendapatan sama sekali, tetapi setiap bulan harus bayar angsuran. Saya bingung, semua karyawan saya PHK," jelasnya.
Sebelum didepak pagebluk, Soegiharto menyebutkan, penghasilannya mencapai Rp200 juta perbulan dari perjalanan wisata yang didominasi wisata religi. Ditambah, saat pembelajaran tatap muka (PTM) masih berlangsung, permintaan pihak sekolah untuk keperluan wisata juga sangat banyak.
"Rp200 juta itu sudah bersih, sudah bisa bayar angsuran bulanan. Bahkan kadang masih ada sisa lebih. Angsuran saja, akumulasi perbulan bisa sampai Rp150 juta lebih. Hampir dua tahun, kami pengusaha bus tidak bisa apa-apa. Sektor wisata paling awal terdampak, dan semoga tidak yang paling akhir terecover," katanya.