Manila, Gatra.com – Jurnalis asal Filipina, Maria Ressa, memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian pada 10 Oktober 2021 lalu. Ia memenangkan penghargaan tersebut bersama jurnalis lainnya asal Rusia, Dmitry Muratov.
Maria berhasil menyabet penghargaan tersebut lantaran dinilai telah memperjuangkan kebebasan berekspresi di negaranya yang disebut terancam di bawah kekuasan Presiden Rodrigo Duterte.
Maria mengaku kaget dengan penghargaan tersebut. “Ini menunjukkan bahwa komite Nobel Perdamaian menyadari bahwa dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan,” ujarnya seperti dilansir oleh BBC pada Minggu, (10/10/2021).
Lalu pada hari ini, Kamis, (14/10/2021), Maria berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan kolega-koleganya di Indonesia. Salah satu pendiri kantor berita Rappler tersebut mengaku pernah meliput topik kekerasan (violence), termasuk konflik dan terorisme, saat menjadi jurnalis di Indonesia beberapa tahun yang lalu.
Dari pengalamannya tersebut, Maria punya pandangan yang mendalam dan reflektif mengenai isu perdamaian dunia. Baginya, perdamaian dunia tak bisa dilepaskan dari hadirnya fakta-fakta jurnalistik. Dengan kata lain, menurutnya, fakta akan membawa warga dunia pada perdamaian.
“Fakta akan membawa Anda pada kebenaran. Ketika Anda punya kebenaran, Anda bisa membangun kepercayaan,” ujar Maria pada kesempatan acara yang diselenggarakan situs berita multi platform IDN Times tersebut.
“Ketika Anda beradu argumen dengan seseorang, Anda harus setuju dengan fakta sehingga Anda bisa menciptakan perdamaian. Kalau tidak, kalau Anda tak sepakat dengan fakta, Anda tak bisa melakukan apa-apa,” imbuh Maria.
“Bagi segala hal—bagi setiap persahabatan, hubungan romantis, keluarga, organisasi, negara, dan dunia—kita butuh fakta,” jelas Maria.
Menurut Maria, logika tersebut berlaku bagi setiap konflik antar-golongan yang masih terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. Setiap golongan yang berperang, setiap kelompok yang punya perbedaan kepentingan, menurutnya, hanya butuh sepakat dengan fakta.
Dengan begitu, lanjut Maria, setiap golongan atau kelompok tersebut bisa sepakat dengan fakta-fakta itu dalam bentuk sebuah kompromi. Dalam konteks Indonesia, ia menyebut kompromi tersebut sebagai “musyawarah”.
“Pada akhirnya, itulah yang demokrasi minta dari kita. Demokrasi meminta kita untuk berbicara, tetapi demokrasi juga meminta kita untuk mendengar. Dan akhirnya kedua permintaan itu bisa tersepakati dalam musyawarah,” ujar Maria.
Dalam mencari fakta, Maria melihat bahwa hal tersebut menjadi tugas jurnalis. Oleh karena itu, ia menginspirasi para jurnalis muda untuk aktif mencari fakta sebagai salah satu upaya untuk membangun perdamaian di tubuh masyarakat.
“Dalam perjuangan untuk mencari fakta, jurnalistik adalah sebuah bentuk aktivisme,” tegas Maria.