Home Ekonomi Siasat Warga Miskin Ekstrem di Brebes Bertahan Hidup

Siasat Warga Miskin Ekstrem di Brebes Bertahan Hidup

Brebes, Gatra.com - Pemerintah pusat menargetkan tidak ada lagi penduduk yang miskin ekstrem pada 2024. Salah satu daerah yang menjadi prioritas pengentasan penduduk miskin ekstrem yakni Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di kabupaten yang dikenal dengan oleh-oleh khas telur asin itu terdapat 197.520 warga yang miskin ekstrem. Wamad (45), warga Desa Cipelem, Kecamatan Bulakamba merupakan salah satunya.

Kemiskinan ekstrem membuat Wamad dan keluarganya tinggal di rumah tidak layak huni. Rumahnya berupa bangunan semi permanen dengan ukuran hanya 1,5x6 meter dan menempel dengan rumah tetangga. Kondisi rumah makin sempit dengan barang-barang yang menyesaki seisi rumah.

Lantai rumah itu masih berupa tanah, sedangkan atapnya menggunakan asbes. Tidak adanya ventilasi, membuat udara di dalam rumah ini terasa lembab dan bisa mengganggu kesehatan penghuninya.

Rumah Wamad juga tak memiliki kamar mandi dan jamban sehingga dia, istri dan dua anaknya harus menumpang ke rumah tetangganya jika ingin mandi dan buang air. "Tidak mampu bikin kamar mandi dan WC sendiri. Tidak punya uang. Buat makan saja sulit," ujar Wamad saat ditemui Jumat (8/10).

Tak hanya urusan mandi dan buang air keluarga Wamad harus menumpang ke tetangga, tetapi juga listrik. Aliran listrik dari tetangga digunakan untuk menyalakan satu lampu 45 watt dan radio. "Listrik numpang ke tetangga. Per bulan bayar iuran Rp30 ribu," ujarnya.

Uang iuran listrik itu menjadi  salah satu pengeluaran keluarga Wamad yang penghasilannya tak menentu. Sehari-hari dia bekerja serabutan dengan menjadi kuli bangunan atau buruh tani. Pekerjaan tersebut tak setiap hari ada. "Kadang ada, kadang nggak ada, banyak nggak adanya," ujar Wamad.

Saat ditemui Jumat siang itu, Wamad mengaku sudah sepekan menganggur karena belum ada yang membutuhkan tenagannya. Terakhir, dia diminta menggarap sawah seluas seperempat hektar.

Dari bekerja selama empat hari itu, Wamad mendapat upah Rp200 ribu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jelas tidak cukup. Namun dia harus punya cara agar penghasilan itu cukup untuk bertahan hidup keluarganya.

"Caranya menghemat, beli yang perlu-perlu aja. Makan nasi tahu tempe aja setiap hari," ungkap Wamad.

Selain untuk makan sehari-hari, penghasilan minim Wamad di antaranya digunakan untuk keperluan sekolah anak. Dia sedikit terbantu dengan adanya bantuan kuota internet untuk anak bungsunya yang duduk di kelas 2 SD dan masih harus mengikuti pembelajaran daring.

"Kalau anak yang paling besar (pertama) sudah nggak sekolah. Terakhir sekolah SD. Ke SMP tidak mau. Sekarang masih menganggur. Rencananya mau kerja jadi pembantu," ujarnya.

Wamad berharap bisa mendapat bantuan, terutama bantuan rehabilitasi rumahnya, setidaknya agar lebih layak ditinggali. "Harapannya juga dapat lapangan pekerjaan. Pokoknya kalau dikasih kerjaan apa saja saya mau. Kuli bangunan mau, buruh tani ya saya mau," tuturnya.

Sekitar satu kilometer dari rumah Wamad, tinggal pasangan suami istri, Cahyono (50) dan Nurhayati (47) yang juga tergolong warga miskin ekstrem di Desa Cipelem.

Keduanya tinggal menumpang di rumah ibu Nurhayati bersama tiga anaknya. Di tembok bagian depan rumah berukuran 8x6 meter itu ada "label" keluarga miskin.

Sama seperti Wamad, sehari-hari Nurhayati dan suaminya yang sudah kerap sakit sesak nafas melakoni pekerjaan tak menentu sebagai buruh tani.

"Saya buruh tani. Upahnya Rp40 ribu sehari. Cuma pas musim tanem dan musim panen. Kalau nggak ada ya ngganggur. Suami juga buruh tani kalau sedang tidak jadi kuli bangunan. Sebulan nggak tentu ada," ujar Nurhayati, Jumat (8/10).

Dengan pekerjaan yang tak menentu dan upah yang minim itu, rata-rata penghasilan keluarga Nurhayati dalam sebulan sekitar Rp300 ribu. Jumlah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga harus dihemat. "Kalau ada penghasilan, buat sekolah anak, buat makan, buat beli gas, buat beli beras. Makan lauknya seadanya saja. Biasanya sayur, ikan asin. Pokoknya hanya beli yang penting-penting saja. Diirit-irit,” ucap Nurhayati.

Dari tiga anaknya, satu anak Nurhayati masih sekolah kelas 4 SD. Sejak pembelajaran harus dilakukan daring, dia mesti menyisihkan uang untuk membeli kuota internet Rp10.000 tiap tiga hari dan Rp5.000 tiap pekan untuk pulsa.

“Anak pertama dan kedua, yang kerja anak kedua. Kerja di warteg. Baru berangkat minggu lalu,” ungkapnya.

Pengeluaran lain keluarga Nurhayati adalah listrik Rp50 ribu per bulan dan air yang berasal dari tetangga sebesar Rp50 ribu satu tahun. "Sumber air dari tetangga. Numpang air tanah tetangga," ujar Nurhayati.

Pejabat Kepala Desa Cipelem, Widodo mengakui mayoritas warga desanya masuk kategori miskin ekstrem. "Dari jumlah 11.200 warga Desa Cipelem atau sekitar 2.600 KK, sekitar 80 persennya tergolong miskin ekstrem atau 8.000-an orang," katanya, Jumat (8/10).

Menurut Widodo, warga yang miskin ekstrem tersebut rata-rata bekerja sebagai buruh tani dan kuli bangunan. "Itu pekerjaan musiman. Buruh tani hanya kalau musim tanam dan panen saja. Pendapatannya di bawah Rp350 ribu," ujar dia.

Widodo mengatakan, sejumlah upaya pengentasan kemiskinan dilakukan pemerintah desa dibantu pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. "Upayanya antara lain pelatihan keterampilan, yaitu pelatihan tukang, pelatihan budidaya jangkrik khusus karang taruna, serta pelatihan daur ulang sampah dan pengolahan kain perca untuk ibu-ibu," ujarnya.

Sejumlah pelatihan keterampilan tersebut diharapkan bisa meningkatkan perekonomian keluarga dan mengurangi angka kemiskinan. "Harapannya minimal kami bisa kurangi angka kemiskinan dari saat ini 80 menjadi 60 persen di akhir tahun 2021," ujar Widodo.

Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Baperlitbangda) Kabupaten Brebes Edy Koesmartono mengatakan, data Badan Pusat Statisitik (BPS), angka kemiskinan di Brebes pada 2020 mencapai 17,03 persen dari total jumlah penduduk sekitar 1,8 juta orang atau sebanyak 300.800 orang. Angka itu meningkat dari angka kemiskinan pada 2019 yang mencapai 16,22 persen.

“Dari data penduduk miskin sebanyak 300.800, yang masuk miskin ekstrem 197.520 atau 10,34 persen,” kata Edy saat rapat kordinasi virtual Penuntasan Penanganan Kemiskinan Ekstrem, Selasa pekan lalu (5/10).

Menurut Edy, indikator sebuah keluarga masuk dalam ketegori miskin ekstrem yakni jika dalam satu bulan penghasilannya di bawah Rp345.000 dan secara kumulatif lima tahun berturut-turut itu berada di bawah garis kemiskinan. “Kemiskinan ekstrem di Brebes ditargetkan nol persen di 2024 dengan adanya langkah intervensi dari pemerintah pusat,” katanya.

Selain Kabupaten Brebes, daerah di Jawa Tengah yang masuk kategori miskin ekstrem dan menjadi prioritas penanggulangan dari pemerintah pusat, yakni Kabupaten Pemalang, Banjarnegara, Banyumas, dan Kebumen.


 

1852