Yogyakarta, Gatra.com - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta menyatakan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah memakan korban di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini mengacu pada pelaporan polisi pada warga yang menolak tambang pasir di Sungai Progo, DIY.
Hal itu disampaikan Kepala Divisi Advokasi Kawasan Walhi Yogyakarta, Himawan Kurniadi, saat jumpa pers di kantor Walhi Yogyakarta, Senin (11/10).
"Ini korban pertama keangkuhan UU Minerba. Ada upaya kriminalisasi oleh laporan pihak penambang terhadap dugaan pelanggaran pasal 170, 160, dan 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 162 UU Minerba," tuturnya.
Menurutnya, warga di dua dusun di wilayah Sleman dan Kulonprogo sedang mempertahankan kelestarian Sungai Progo dari ancaman kerusakan lingkungan. Namun warga justru dilaporkan ke Polres Sleman dengan tuduhan menghalangi aktivitas penambangan dan kini telah masuk ke tahap penyidikan.
Himawan juga mempertanyakan ketegasan Gubernur DIY atas penambangan di Kali Progo setelah beberapa waktu lalu menutup tambang pasir di lereng Merapi melalui sabdanya, 'gunung bali (kembali ke) gunung'.
"Gubernur juga harus memperhatikan tambang di sungai, meski saat ini izin pertambangan ditarik ke tingkat pusat," kata dia.
Jono, warga Dusun Wiyu, Kembang, Nanggulan, Kulonprogo, menyatakan menolak tambang di Kali Progo karena membuat sumur di dekat rumahnya kering.
"Tambang dengan alat berat menggerus terus menerus debit air. Sumur asat (kering) dan harus beli air untuk minum sekarang," tuturnya.
Menurut dia, penambangan itu melanggar ketentuan karena tanpa sosialisasi ke warga. Aktivitas tambang juga dapat menyebabkan longsor.
"Siapa yang tanggung jawab kalau longsor. Sekarang dikeruk 5 meter, nanti bisa lebih dan terjadi longsor. Kalau tidak dihentikan akan melebar ke permukiman dan bisa menyebabkan banjir," ujarnya.
Budhi Hermawan dari LBH Yogyakarta menilai kriminalisasi ini tanda bahaya bagi pejuang lingkungan.
"Yang dilaporkan juga tidak jelas bentuk menghalangi-halanginya karena mereka hanya menyampaikan aspirasi sesuai prosedur hukum dengan bukti-bukti," ujarnya.
Warga penolak tambang sebenarnya juga telah melaporkan kasus ini ke Polda DIY, termasuk soal pemalsuan dokumen perizinan tambang. Namun laporan ini belum ditindaklanjuti.