Jakarta, Gatra.com – Komisi VII DPR RI sedang melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Beleid tersebut telah memasuki tahap akhir dan ditargetkan bisa selesai pada akhir 2021.
Penyusunan UU EBT dianggap penting untuk memberi kepastian hukum terkait pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Terlebih, Indonesia punya komitmen untuk mencapai bauran energi terbarukan hingga 23% pada 2025, yang saat ini masih sekitar 11,2%.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai RUU EBT versi Agustus 2021 mengandung sejumlah ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan lainnya. Sehingga, dapat menimbulkan risiko tumpang tindih aturan.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Grita Anindarini, menyebut sebagian besar pasal dalam Bab Energi Baru pada RUU EBT hanya pengulangan dari UU Ketenaganukliran juncto UU Cipta Kerja maupun UU Energi.
Ninda mencontohkan, Pasal 11 RUU EBT mengenai pembentukan badan pengawas telah ada dalam Pasal 4 UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Kemudian, Pasal 13 RUU EBT terkait perizinan berusaha nuklir sudah ada dalam Pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 1997 jo UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Pasal 14 RUU EBT tentang tempat penyimpanan limbah lestari telah ada dalam Pasal 25 UU 10 Tahun 1997 jo UU 11 Tahun 2020. Selain itu, Pasal 15 RUU EBT tentang Majelis Pertimbangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sudah ada dalam Pasal 5 UU 10 Tahun 1997,” ungkap Ninda, Jumat (8/10).
Ninda menambahkan, pasal-pasal terkait penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan (Pasal 21, 22, 26, 27, 28, 29 di RUU EBT) juga telah ada dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Menurutnya, pengaturan terkait nuklir dalam RUU EBT malah menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Sebab, Indonesia telah memiliki regulatory framework-nya sendiri. Kalau seandainya diatur dalam UU ini [RUU EBT] justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena ada beberapa pasal yang tumpang tindih tadi,” ujarnya.