Jakarta, Gatra.com- Angka penyebaran hoaks atau berita bohong di media sosial dan media online meningkat di masa pandemi Covid-19. Hal tersebut disampaikan Kepala Divisi Riset Indonesia Indikator, Fanny Chaniago, dalam diskusi daring yang diadakan Katadata Indonesia, pada Jum’at (8/10).
Menurut Fanny, berita hoaks tersebut muncul ditengah ketidakpastian informasi mengenai Covid-19 di awal-awal pandemi. Sementara informasi mengenai covid di media social mengalir dengan deras. “Media online juga jadi pemicu maraknya informasi hoaks, karena tak sedikit yang membahasnya,” begitu ungkap Fanny.
Nerdasarkan data yang dihimpun Indonesia Indikator, informasi hoaks yang menyebar di masa pandemi mengalami pasang surut, seiring dengan krisis dan momentum yang terjadi di Indonesia. Fanny mencontohkan, setelah awal pandemi, berita hoaks Kembali marak Ketika vaksinasi mulai dilakukan pada awal 2021.
Setelah itu sempat menurun, lalu meningkat lagi Ketika virus Corona Varian Delta menyebar pada pertengahan 2021. Fanny melanjutkan, pengguna internet di Indonesia terbesar adalah pada rentang usia 18-35 tahun, dimana jumlahnya lebih dari 50%.
Tingginya angka menjadi sasaran empuk bagi penyebar hoaks. Menurut dia, sedikitnya ada tiga kelompok masyarakat yang menyebarkan hoaks selama pandemi, yakni yang bertujuan untuk melakukan tekanan politik kepada pemerintah, kedua membuat masyarakat bingung dengan kondisi pandemi.
Terakhir yang ingin mengambil keuntungan ekonomi dari pandemi. Menurut dia, motif yang kedua adalah yang paling banyak memakan korban. “Ada 60% lebih warganet percaya dengan hoaks seputar pandemi,” kata Fanny.
Menyambung fakta yang diurai Fanny, Co-Founder & CMO of Bicara Project, Chika Audhika mengatakan, etika komunikasi warganet di media sosial belum baik. Tidak sedikit pengguna internet yang masih memuat konten negative, di banding yang positif.
Chika sangat menyayangkan hal ini, karena sebenarnya banyak fungsi media sosial yang berguna untuk kehidupan seseorang dalam jangka panjang. “Saat ini tidak sedikit perusahaan yang menjadikan isi media sosial seseorang sebagai salah satu penilaian dalam rekrutmen kerja,” ujar dia.
Ia mengimbau masyarakat menghindari konten negatif ketika bermain media sosial, karena semua aktivitas disana akan terekam secara digital. Menurut Chika, celah seseorang untuk menghindar dari jeratan hukum di dunia maya semakin kecil, sekalipun menggunakan akun anonim.
Selain kini Indonesia memiliki Undang-undang ITE, informasi tentang pemilik akun dapat dengan mudah ditelusuri. Karena ketika seseorang hendak membuat akun media sosial, ada data pribadi yang harus dimasukkan sebagai persyaratan.
Sementara itu, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang juga Penulis Buku Etika Komunikasi di Era Siber, Fajar Junaedi berpendapat, etika di media sosial tidak jauh berbeda dengan etika di kehidupan sosial pada umumnya. Ada norma-norma yang harus dijaga, layaknya di kehidupan sehari-hari, seperti sopan santun dan tata krama.
“Media sosial adalah cermin dari kepribadian seseorang,” kata Fajar. Namun terkait dari teknis penyebaran informasi, ada sedikit pergeseran perilaku.
Dulu, menurut Fajar, informasi disampaikan oleh institusi atau lembaga yang resmi dan kredibel, contohnya media massa. Tingkat akurasinya pun sangat tinggi, karena informasi tersebut telah melewati berbagai proses penyaringan.
Namun kini informasi bisa disebarkan oleh siapapun melalui media sosial, tanpa adanya filter. Ini kemudian yang membuat informasi atau berita hoaks bisa menyebar di masyarakat.
Karena itu ia meminta pemerintah memasukkan pengetahuan mengenai literasi media dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. “Selama ini masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang media sosial secara otodidak, bukan dari lembaga pendidikan resmi,” ungkap Fajar.