Jakarta, Gatra.com – Ekonom Indef, Dzulfian Syafrian, mengatakan, Pandora Papers mengingatkan pada sosok Qorun dan Firaun pada zaman dahulu. Orang-orang kaya dan penguasa menempatkan dananya di negara-negara tax heaven untuk menghindari pajak.
Bukan hanya menghindari pajak, kata Dzulfian dalam bincang-bincang virtual bertajuk “Oligarki dan Pandora Papers” pada pekan ini, mereka juga mendapatkan pengurangan pajak melalui berbagai skema yang dubuat pemerintah.
“Konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah ini juga yang kalau kita cek data semakin ke sini, negara-negara di dunia itu, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, defisit APBN mereka semakin besar,” katanya.
Defisit APBN ini membuat utang pemerintah atau negara bertambah karena harus meminjam untuk menambal kekurangan dana. Rakyat, baik miskin maupun kaya yang ditanggung negara menjadi bertambah.
“Logikanya simpel, jangankan kalau pengeluaran atau belanjanya semakin meningkat, kalau belanjanya sama saja, tetapi di sisi lain penerimanya semakin turun, semakin turun, karena semakin banyak orang-orang kaya ini yang menghindar untuk membayar pajak. Padahal pendapatan terbesar itu adalah dari orang kayak,” ujarnya.
Alhasil, lanjut Dzulfian, tidak ada mekanisme distribusi kekayaan dari si kaya yang mengalir ke si miskin. “Akhirnya adalah akumulasi kapital dan kekuasaan yang semakin menggelembung dan hanya dikendalikan oleh kalangan atas atau 1%,” ucapnya.
Di sisi lain, ketika ada beberapa orang kaya dan penguasa yang berupaya menghindari membayar pajak melalui modus Pandora Papers, mereka juga mendapat pengurangan pajak melalui skema Ombibus Law.
“Di Omnibus Law kita, pajak untuk perusahaan itu dipotong, awalnya dari 25% terus turun secara bertahap 22% gitu, nanti 20%, dan akan terus mendekati Singapura, itu kan konsepnya seperti itu ya dari pemerintah,” katanya.
Kemudian, ujar Dzulfian, ini tidak jadi diturunkan lebih jauh karena akhirnya pemerintah sadar bahwa ketika dipotong dan baru berjalan setahun saja, defisit APBN dan utang semakin meningkat. Ini terjadi karena pengeluaran yang bertambah besar tetapi pendapatannya menjadi kecil.
"Akhirya pemerintah enggak kuat kan gitu, makanya baru sadar, akhirnya, 'Wah enggak bisa kalau gitu, kalau enggak, makin lama makin lama, makin jebol nih dompetnya kita semua Indonesia'," ujarnya.
Untuk menambal kekurangan anggaran tersebut karena tidak bisa menariknya dari orang-orang kaya, lanjut Dzulfian, maka pemerintah menaikkan PPN. Gaya seperti ini sudah terjadi di zaman-zaman dahulu kala.
“Bahwa ketika atau untuk memanfaatkan kekuasaan, khususnya jika zaman dahulu ya untuk mendanai perang, zaman-zaman kegelapan dahulu yang dilakukan oleh pemerintahnya adalah menaikkan pajak di masyarakat yang langsung dirasakan masyarakat, yaitu jika dalam konteks ini PPN. Karena setiap yang kita beli ada PPN-nya,” kata dia.