Jakarta, Gatra.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) beserta sejumlah organisasi non-pemerintah internasional seperti International Federation for Human Rights (FIDH), World Organization Against Torture (OMCT), Frontline Defenders, Business and Human Rights Resource Centre (BHRRC), International Network of Civil Liberties Organizations (INCLO), CIVICUS, Capital Punishment Justice Project (CPJP), dan Franciscans Internationall mendorong pemerintah Indonesia untuk melindungi pembela HAM dari ancaman dan teror yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dengan pasal-pasal yang merepresi kebebasan berekspresi.
"Dalam dua bulan terakhir, empat pembela HAM telah dijebak oleh penggunaan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pasal-pasal karet di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk perkara pencemaran nama baik dan fitnah. Yang pertama, staf Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha dan Miftachul Choir yang dilaporkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Indonesia, Moeldoko, ke Bareskrim Mabes Polri karena tuduhan pemburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara HKTI dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa." tulis KontraS dalam keterangan resminya, Kamis (07/10).
Kemudian KontraS turut menyebut kasus yang menimpa Koordinatornya, Fatia Maulidiyanti, dan Direktur Lokataru, Haris Azhar yang menerima somasi dari dan direncanakan akan dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Seperti diketahui, kasus tersebut bermula dari pernyataan di video yang diunggah di laman YouTube milik Haris Azhar. Dalam video tersebut, Fatia menyebutkan keterlibatan Luhut dalam relasi ekonomi dan militer di penurunan pasukan militer di Intan Jaya, Papua.
KontraS menilai bahwa kedua peristiwa tersebut menggambarkan penyusutan kebebasan sipil, khususnya kebebasan berekspresi, yang dialami pembela HAM di Indonesia. Beberapa organisasi organisasi non-pemerintah internasional seperti FIDH dan OMCT, BHRRC, INCLO, CIVICUS, CPJP, FORUM-ASIA dan berbagai organisasi non-pemerintah regional maupun nasional di berbagai negara telah mengirimkan dukungan mereka untuk situasi pembela HAM di Indonesia.
"Mereka turut bersolidaritas dengan pembela HAM di Indonesia, dan prihatin dengan tindakan pejabat pemerintahan yang menggambarkan judicial harassment dan penyalahgunaan wewenang. Para pembela HAM tersebut memiliki kebebasan untuk berekspresi, sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia di tahun 2005." jelasnya.
Kasus ini juga diangkat di diskusi informal di sesi ke-48 Dewan HAM PBB pada 17 September 2021 lalu yang membahas resolusi mengenai reprisals atau tindakan yang mengintimidasi individu atau organisasi yang bekerja sama dengan PBB. INCLO, sebagai salah satu jaringan KontraS di isu kebebasan sipil, melakukan intervensi di forum tersebut dengan mengangkat kasus somasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, dan juga KontraS, sebagai organisasi yang telah bekerja sama dengan PBB sejak 2005 dan kini mengalami intimidasi dan resiko kriminalisasi.
"Dalam intervensi tersebut juga dinyatakan bahwa tindakan intimidatif ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi, yang mana digunakan Fatia dan Haris untuk mempublikasikan hasil riset organisasi-organisasi HAM di Indonesia mengenai relasi militer dan eksploitasi tambang di Papua. Selain INCLO, Franciscans Internasional juga memberi perhatian terhadap serangan kepada pembela HAM seperti Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar di General Debate mengenai situasi HAM yang membutuhkan atensi Dewan HAM PBB di sesi Dewan HAM PBB ke-48." ungkap KontraS.
Pada kesempatan yang sama, Asian Legal Resource Centre (ALRC) turut menyampaikan perhatian terkait pelaporan polisi yang dialami oleh Fatia dan Haris.
Meskipun diskusi tersebut bukan saluran formal untuk mengadukan kasus ke Dewan HAM PBB, intervensi tersebut menjadi pesan untuk Duta Besar Indonesia di Jenewa yang hadir pada forum tersebut bahwa INCLO, Franciscans International dan jaringan HAM internasional lainnya, telah mengetahui kasus ini dan berdiri untuk bersolidaritas dengan situasi pembela HAM di Indonesia.
KontraS menilai intervensi tersebut menandakan organisasi non-pemerintah internasional berani untuk menyampaikan desakannya kepada pemerintah Indonesia untuk mengangkat isu ini ke permukaan.
"Dengan banyaknya dukungan dari komunitas internasional dalam kasus ini, pejabat pemerintahan yang bersangkutan didorong untuk membatalkan laporan yang telah diajukan ke polisi dan menarik semua ancaman terhadap pembela HAM baik secara yudisial ataupun non yudisial." ungkap KontraS.
"Peristiwa-peristiwa ini juga diharapkan akan menjadi ajang perubahan perlindungan pembela HAM baik dengan pembuatan mekanisme perlindungan pembela HAM secara khusus di Komnas HAM ataupun regulasi yang dapat melindungi kerja-kerja pembela HAM yang tidak hanya berkaitan dengan kebebasan berekspresi saja, namun juga kerja-kerja pembela HAM lainnya." pungkasnya.