Jakarta, Gatra.com- Mabes Polri menanggapi ramainya berita soal 'Tiga Anak Saya Diperkosa' di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus yang direportasekan oleh Project Multatuli itu kontan menohok korp Tribrata. Pihak Polres Luwu Timur menyetop penyelidikan, meski ibu kandung dari tiga korban telah memaparkan dan menyerahkan sejumlah barang bukti.
Kepala Biro Penerangan Humas (Karopenmas) Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyebut, kasus itu bisa dibuka kembali. Syaratnya, ada bukti baru yang didapat penyidik.
"Apabila kita bicara tentang penghentian penyidikan, itu bukan berarti semua sudah final. Apabila memang dalam proses berjalannya ada ditemukan bukti yang baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya akan dibuka kembali," kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (7/10).
Rusdi berulang kali menyampaikan bahwa kasus itu sudah disetop dengan dikeluarkannya surat perintah untuk penghentian penyidikan sebab Polres Luwu Timur tak menemukan bukti yang cukup. Penyidik juga disebut telah melakukan gelar perkara terhadap kasus yang dilaporkan pada 2019 lalu ini.
"Kesimpulan dari gelar perkara itu adalah tidak cukup bukti. Sekali lagi, tidak cukup bukti yang terkait dengan tindak pidana pencabulan tersebut. Oleh karena tidak cukup bukti, maka dikeluarkanlah surat penghentian penyidikan daripada kasus tersebut," pungkasnya.
Dalam tulisan Project Multatuli diceritakan bahwa Lydia, bukan nama sebenarnya, melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah Kabupaten Luwu Timur berinisial SN.
Polisi menerima laporan Lydia pada 9 Oktober 2019. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan. Kemudian, ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog.
Lydia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut tapi dilarang membacanya terlebih dulu. Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.
Pada 15 November, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak Lydia.
Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember. Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember. Surat itu memuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.
“Jadi rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?” kata Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.
Beberapa pekan setelah pencabulan itu, anak-anaknya mengeluh kesakitan. Di sebuah puskesmas di Luwu Timur, Lydia meminta surat rujukan untuk membawa anak-anaknya ke sebuah rumah sakit.
Berikut hasil pemeriksaannya yang ditulis Project Multatuli. Tulisan ini mengandung konten eksplisit.
Dalam surat rujukan itu tertulis diagnosis internal thrombosed hemorrhoid + child abuse. Kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan persenggamaan.
Diagnosis lain abdominal and pelvic pain. Kerusakan pada organ vagina akibat pemerkosaan.
Diagnosis selanjutnya vaginitis atau peradangan pada vagina dan konstipasi atau susah buang air besar.
Di rumah sakit rujukan itu, anak-anaknya memperagakan apa yang dilakukan ayah mereka setelah dokter bertanya apa penyebab luka-luka di bagian anus dan vagina.
Diagnosis awal, dokumentasi foto dan rekaman video, serta hasil pemeriksaan ke rumah sakit ini diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur. Polisi tidak melanjutkan secara serius temuan-temuan kekerasan ini.
“Kalau memang hasil visum polisi bilang tidak ada ada luka dan tidak terjadi apa-apa,” kata Lydia, “kenapa polisi menolak waktu saya mau kasih foto dan video ini? Mereka bilang simpan saja, tidak perlu itu.”
“Terus kenapa bisa pantat dan vagina anak saya luka sampai bengkak putih seperti kelihatan daging putih?"
“Kenapa anak-anak saya menangis kesakitan setiap mau buang air kecil dan buang air besar? Kenapa anak-anak saya bilang ayahnya orang jahat dan tidak mau ketemu lagi sekarang?”
“Kalau pelaku memang tidak bersalah, kenapa dia tidak datang mencari anaknya, meminta kejelasan ke anak-anak?
“Kalau orang-orang bilang ini fitnah, kenapa anak-anak fitnah ayahnya seperti itu?”
“Kalau pertanyaan itu tidak terjawab, apakah polisi akan membantu menemukan jawabannya?
Tidak, kan.*