Jakarta, Gatra.com – Pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN), dari yang berlaku sekarang 10% menjadi sebesar 11% di tahun depan dan naik ke 12% pada 2025. Rencana ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan tersebut mengindikasikan pemerintah sedang mengejar target defisit APBN 3% pada 2023. Pencapaian target itu butuh tambahan penerimaan sekitar Rp600 triliun hingga Rp700 triliun.
“Tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak, target defisit tersebut akan sulit tercapai,” ungkap Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, dalam diskusi daring, Rabu (6/10).
Meski begitu, Tauhid memperkirakan target defisit itu berpotensi bisa melebar di atas 3%. Penilaian ini mengacu pada kinerja penerimaan negara maupun perpajakan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Menurut Tauhid, setidaknya terdapat dua penyebab yang dapat mengakibatkan pelebaran defisit APBN. Kesatu, perbaikan penerimaan negara tidak mudah dilakukan dalam kondisi pemulihan ekonomi nasional.
“Jadi, masih sangat tergantung bagaimana sektor-sektor di penerimaan negara, khususnya perpajakan seperti industri, manufaktur, perdagangan, dan sebagainya bisa cepat pulih, baru kemudian penerimaan negara dapat tumbuh,” katanya.
Faktor kedua adalah sisi pengeluaran yang terutama berbasis konsumsi masyarakat. Aktivitas ini masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan belanja investasi pemerintah, ekspor, serta impor nasional.
“Sehingga, sumber PPN yang basisnya adalah konsumsi jauh lebih lambat daripada perkiraan semula. Saya kira, ini yang membuat [defisit APBN] berpotensi melebar. Kecuali, benar-benar mau tidak mau belanja untuk pemulihan ekonomi akhirnya dikurangi secara drastis,” tuturnya.