Jakarta, Gatra.com – Anggota Komisi IV DPR RI, Slamet menyoroti program kebijakan kartu tani yang anggarannya mencapai ratusan miliar. Ia menyarankan anggaran tersebut dialokasikan untuk meningkatkan produktivitas petani, karena program kartu tani sendiri manfaatnya masih belum dirasakan oleh kalangan petani.
"Tidak main-main anggaran senilai ratusan miliar hanya untuk mencetak kartu tani. Uang Rp300 miliar tersebut sebaiknya digunakan untuk menggenjot produktifitas petani, dari pada habis untuk mencetak kartu tani yang manfaatnya minim dirasakan oleh petani,” ujar Slamet di Jakarta, Selasa (5/10).
Salah satu yang paling mendapatkan sorotan adalah belum teratasinya permasalahan pengadaan pupuk subsidi bagi masyarakat khususnya melalui kartu tani. Berdasarkan pengamatan di lapangan ternyata keberadaan kartu tani tidak lantas membantu petani untuk mendapatkan akses yang lebih berkeadilan ke pupuk bersubsidi yang sudah menjadi hak mereka.
Padahal program kartu tani ini sudah mulai diprogramkan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian sebagai sebuah terobosan kebijakan untuk memudahkan petani mendapatkan akses kepada pupuk bersubsidi. Namun hampir 5 tahun berjalan keberadaan kartu tani justru menjadi polemik berkepanjangan.
“Program kartu tani ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun namun keberdaannya bukan menjadi solusi tapi justru menambah persoalan baru dalam rantai distribusi pupuk bersubsidi,” ujar politisi Fraksi PKS itu.
Sejatinya program kartu tani ini memang sudah mendapatkan banyak kritikan baik melalui beberapa penelitian ilmiah maupun pada tatanan implementasinya di lapangan. Sejumlah permasalahan yang mencuat adalah ketidaksiapan infrastruktur khususnya jaringan internet di daerah, ketidaksiapan jejaring kios yang bisa menerima penggunaan kartu tani dan adanya kewajiban saldo minimum dalam kartu tani yang cukup memberatkan petani dalam upaya penggunaan kartu tani tersebut.
Slamet meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kartu tani atau kalau perlu menghentikan program tersebut karena dianggap hanya merupakan pemborosan anggaran saja. Menurutnya, saat ini pemerintah telah mencetak dan mengedarkan 15 juta kartu tani dengan harga Rp20.000 per kartu artinya akan tersedia anggaran sekitar Rp300 miliar yang bisa dihemat untuk dialihkan ke pembangunan sarana-prasarana pertanian seperti irigasi atau ke program-program lain yang menstimulus produktifitas petani.
Di sisi lain, Slamet juga menyoroti data impor pangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Dimana, periode Januari hingga Agustus 2021 Indonesia mengimpor lebih dari 15 juta ton bahan pokok senilai 8,37 miliar dolar AS atau setara dengan Rp118,9 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS).
Ia memamparkan, persoalan impor pangan adalah ekses dari buruknya tata kelola pertanian di Indonesia, terutama gap atau jarak antara perencanaan dan eksekusi di lapangan yang terlihat bagus dalam laporan saja, tetapi manfaatnya tidak begitu dirasakan oleh petani.