Jakarta, Gatra.com- Indonesia negara yang penuh komitmen akan kelestarian alam. Tak terkecuali terkait dengan perkebunan kelapa sawit yang kini menjadi komoditas primadona perekonomian Indonesia. Telah lama, pemerintah menerapkan Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan atau yang dikenal sebagai prinsip Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
ISPO diterbitkan pada pada 2009 dengan tujuan memastikan bahwa semua pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang ditetapkan. Baik berkaitan dengan pengolahan kebun, tata ruang lahan maupun dampak lingkungan hidup. Terutama terkait dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak emisi gas rumah kaca.
Kehadiran ISPO dapat memastikan bahwa peraturan perundang-undangan terkait kelapa sawit bisa diterapkan oleh semua pihak yang berkepentingan. Semua pihak yang telah mematuhi ketentuan itu akan memperoleh sertifikat ISPO.
Pedoman tersebut mencakup 100 peraturan pemerintah pusat dan daerah, mulai dari pengelolaan lingkungan, praktik ketenagakerjaan, aspek legalitas, hingga kesehatan dan keselamatan, serta praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan perkebunan.
ISPO berawal dari niat baik pemerintah untuk melindungi petani kecil dari dampak kapitalisme global. Kementerian Pertanian memperoleh donasi US$15,5 juta dari UNDP untuk program lima tahun dengan tujuan agar petani kecil dapat mematuhi ISPO.
Sebanyak 4,4 juta hektar perkebunan milik petani kecil atau 44 persen dari total perkebunan sawit menjadi target untuk revitalisasi dan pengelolaan yang lebih baik. Dukungan untuk petani kecil lewat sertifikasi ISPO diyakini mampu meningkatkan produktivitas, memperbaiki legalitas dan menurunkan deforestasi.
ISPO berlaku wajib bagi perusahaan perkebunan tetapi sukarela bagi usaha perkebunan kecil. Pelaksanaan sertifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.7 Tahun 2009 mengenai Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Hingga saat ini, sebanyak 1,9 juta hektare kebun kelapa sawit dengan produksi 8,2 juta ton minyak sawit mentah telah tersertifikasi ISPO. Jumlah tersebut mencakup 16,7% luas perkebunan sawit yang tercatat sebanyak 11,9 juta hektare. Hingga akhir Agustus 2017, sebanyak 306 sertifikat ISPO telah diserahkan kepada 304 perusahaan sawit, satu asosiasi petani plasma, dan satu koperasi petani swadaya. Jumlah itu termasuk 40 sertifikat ISPO yang diserahkan hari ini kepada perusahaan sawit.
Pada 2018, sebanyak 67 sertifikat yang diserahkan Komisi ISPO tersebut mencakup luas lahan 235.867 hektare. Dengan penambahan 67 penerima sertifikat itu, jumlah total pemegang sertifikat ISPO hingga Agustus 2018 tercatat 413 pelaku usaha, yang terdiri dari 397 perusahaan sawit, satu asosiasi pekebun swadaya, dua KUD pekebun swadaya, dan tiga KUD plasma.
Pada 2019, luas perkebunan sawit di Tanah Air yang telah mengantongi sertifikat sawit lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) hingga bulan Agustus 2019 telah menyerahkan sertifikat atas 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma dengan total areal seluas 5.185.544 hektare (ha). Di mana, luas tanaman menghasilkan (TM) seluas 2,961.293 ha, dengan produktivitas 19,07 ton tandan buah segar (TBS) per ha, total produksi mencapai 56.650.844 ton TBS per tahun. Dengan rendemen rata-rata 21,7%, setara dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebanyak 12.260.641 ton per tahun.
Hingga akhir 2020, Kementerian Pertanian mencatat sudah ada 755 sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang terbit untuk kebun-kebun kelapa sawit di tanah air. Sebanyak 735 di antaranya merupakan sertifkat untuk perusahaan swasta dan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN.
Tentu saja belum semua perkebunan memiliki sertifikat ISPO karena sertifikat itu berproses dan tidak dikeluarkan begitu saja. Karena itu, yang terpenting dalam hal ini adalah bukan kuatitasnya, tetapi lihatlah peningkatan yang terjadi. Angka 755 sertifikat itu menunjukkan bahwa komitmen untuk menjaga kelestarian alam sudah diterapkan di negeri ini. Dan, inilah yang perlu kita yakinkan kepada dunia internasional.